Jakarta, CNN Indonesia --
Lembaga Amnesty International Indonesia hingga LBH Bandung mengkritisi langkah Bareskrim Polri menciduk mahasiswi ITB yang diduga membuat meme Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden RI Prabowo Subianto.
Mahasiswi ITB itu diproses polisi menggunakan pasal UU ITE terkait konten melanggar kesusilaan.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan penangkapan mahasiswi tersebut menunjukkan polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan. Ekspresi damai seberapa pun ofensif, baik melalui seni, termasuk satire dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital," kata Usman dalam keterangan tertulis, Jumat (9/6).
Menurutnya, penangkapan mahasiswi itu juga bertentangan dengan semangat putusan terbaru MK yang menyatakan keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.
Usman mengatakan dugaan pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons yang represif di ruang publik.
"Kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan," katanya.
Usman mengatakan lembaga negara termasuk Presiden bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.
Menurutnya, kriminalisasi di ruang ekspresi justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.
"Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK. Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik," katanya.
Usman juga berpendapat kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka.
"Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil," katanya.
Serupa, dalam penyampaian keterangan yang terpisah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengkritik tindakan aparat kepolisian yang menangkap seorang mahasiswi ITB karena membuat meme Jokowi-Prabowo.
Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung M Rafi Saiful mengatakan tindakan mahasiswi di media sosial itu merupakan bagian dari ekspresi dan kritik terhadap pemerintah.
"Bagian dari kritik bagi pemerintah. Terutama karena kita tahu sendiri bahwasanya pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan Prabowo itu satu kesatuan, dimana pemerintahan sekarang itu mencerminkan oligarki-oligarki yang berkuasa," kata Rafi di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat.
Ia menyinggung penggunaan pasal di UU ITE untuk menjerat mahasiswi itu. Rafi mengatakan UU ITE selalu dikenakan kepada pihak yang mengkritik pemerintah.
"Kemudian kalau kita lihat kesusilaan, dimana kesusilaannya kan? Sebetulnya ini kalau kita bicara dalam konteks UU ITE itu dia pasal karet dan sering menjerat teman-teman aktivis ataupun siapapun yang berani mengkritik," ujarnya.
Rafi menjelaskan saat mendapat laporan soal peristiwa tersebut. LBH Bandung langsung berkoordinasi dengan LBH Jakarta untuk memberi bantuan karena penanganan kasus di Bareskrim Polri.
"Kemudian LBH Jakarta ke Bareskrim untuk menemani, cuma memang dari orangnya sudah membawa lawyer yang lain. Jadi akhirnya dari LBH Jakarta tidak mendampingi," katanya.
Sebelumnya, diduga seorang mahasiswi Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ditangkap Bareskrim Polri buntut unggahan meme Presiden Prabowo Subianto dan Fakultas Presiden RI ke-7 Jokowi yang sedang 'berciuman'.
Informasi tersebut mulanya disampaikan akun X bernama @MurtadhaOne1. Akun itu mengatakan penangkapan dilakukan karena membuat foto palsu yang menyerupai Prabowo dan Jokowi.
Sementara akun X lainnya @bengkeldodo, mengunggah foto dugaan mahasiswi ITB yang dikabarkan ditangkap Bareskrim Polri beserta foto meme Presiden Prabowo dan Jokowi yang dimaksud.
Sebelumnya juga ada akun X @gtobing2903 yang menggunggah unggahan foto palsu atau meme Jokowi-Prabowo dan diduga mahasiswi ITB pembuatnya.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko membenarkan soal penangkapan terkait unggahan meme itu. Hanya saja, saat dikonfirmasi pada Jumat pagi, dia tidak menjawab secara lugas apakah yang bersangkutan merupakan mahasiswi ITB atau bukan. Ia menyebut pelaku yang ditangkap merupakan wanita berinisial SSS.
"Membenarkan bahwa seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses," katanya saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
Truno juga tidak menjelaskan kronologi penangkapan sosok perempuan itu. Ia hanya menyebut pelaku SSS diduga melanggar Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE.
Isi pasal-pasal yang dipakai oleh polisi dalam menjerat mahasiswi ITB diduga pembuat meme Jokowi dan Prabowo itu adalah:
Pasal 27 ayat (1) UU ITE:
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Pasal 35 UU ITE:
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, perusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik atau agar dianggap sebagai data yang sebenarnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)."
Pasal 51 ayat (1) UU ITE:
"Setiap Orang yang tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)."
Pasal 45 ayat (1) UU ITE:
"Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
(yoa/kid)