Apakah Sekolah Rakyat Bisa Atasi Masalah Pendidikan Indonesia?

7 hours ago 8

Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Prabowo Subianto berencana membangun ratusan sekolah rakyat yang ditujukan untuk anak dari keluarga tidak mampu dan tergolong miskin ekstrem.

Pemerintah mengatakan para peserta didik Sekolah Rakyat sekolah untuk jenjang SD hingga SMA adalah mereka yang masuk kategori desil 1 dan 2, yakni golongan masyarakat miskin dan miskin ekstrem.

Rencananya, Sekolah Rakyat dalam bentuk boarding school ini akan beroperasi pada tahun tahun ajaran baru di bulan Juni atau Juli mendatang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses pendaftaran calon peserta didik pun sudah dimulai pada 1 April lalu. Pendaftaran resmi ditutup pada 16 Mei lalu dan total ada 7.700 calon peserta didik yang mendaftar.

Para peserta didik yang telah mendaftar ini selanjutnya akan mengikuti tes kesehatan pada 21 Mei yang dilanjutkan kunjungan ke rumah calon (home visit) serta wawancara pada 22 hingga 24 Mei. Home visit ini akan dilakukan satu tim yang terdiri dari Kemensos, BPS hingga Kemendikdasmen.

Selanjutnya, pada 28 Mei akan diumumkan peserta didik yang lolos dan proses registrasi serta pemilihan peserta direncanakan pada 14 Juli. Lantas apakah program Sekolah Rakyat ini bisa mengatasi masalah pendidikan di Indonesia?

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan program tersebut tak bisa menyelesaikan masalah. Bahkan, menurutnya, program itu justru menambah masalah baru.

Kata Ubaid, masalah pendidikan di Indonesia ini tergolong kompleks. Mulai dari, kualitas guru, kurikulum, infrastruktur yang tidak memadai, akses pendidikan tidak merata, hingga masalah pendanaan berkelanjutan.

"Jika Sekolah Rakyat ini justru memisahkan dan melabeli kelompok masyarakat tertentu, alih-alih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan secara holistik, maka ia hanyalah sebuah distraksi yang kontraproduktif," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/5).

"Solusi sejati terletak pada penguatan sistem pendidikan nasional yang inklusif dan berkualitas bagi seluruh anak bangsa, bukan pada segmentasi berdasarkan status sosial yang terkesan elitis," imbuhnya.

Ubaid berpandangan untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia seharusnya dilakukan dengan menghapus sekat-sekat perbedaan. Termasuk, soal perbedaan ekonomi dan sosial.

Apalagi, jika Sekolah Rakyat ini didesain atau diimplementasikan secara terpisah dan berbeda kualitasnya dengan Sekolah Garuda maupun sekolah negeri pada umumnya.

"Ini sama saja dengan melegitimasi adanya kasta dalam pendidikan, di mana anak-anak dari kelompok sosial tertentu 'dikandangkan' dalam sistem yang mungkin saja inferior," ucap Ubaid.

Padahal, menurut Ubaid, pemerataan pendidikan hanya bisa dicapai dengan memperkuat sekolah-sekolah negeri yang ada, memastikan kualitasnya setara di seluruh pelosok negeri, dan menghilangkan praktik-praktik diskriminatif.

Ciptakan stigma negatif

Tak hanya itu, Ubaid menyebut Sekolah Rakyat ini juga berpotensi menciptakan stigma negatif bagi para siswanya di lingkungan masyarakat.

"Label 'Sekolah Rakyat' itu sendiri bisa membawa stigma negatif bagi siswa dan lulusannya, seolah-olah mereka mendapatkan pendidikan kelas bawah. Ini akan berdampak pada kepercayaan diri dan kesempatan mereka di masa depan," ucap dia.

Terakhir, Ubaid menilai program Sekolah Rakyat ini justru mengulang kesalahan sejarah masa lampau. Khususnya di masa kolonial.

"Pembagian sistem pendidikan berdasarkan status sosial mengingatkan kita pada praktik diskriminatif di masa kolonial. Mengapa kita harus mengulang kesalahan yang sama atas nama 'inovasi'?," kata dia.

Baca halaman berikutnya...


Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |