DPR Minta Pemerintah Tak Gunakan Istilah Sejarah Resmi dalam Proyek Revisi Naskah Sejarah

8 hours ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana mengatakan istilah sejarah resmi dalam proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan tidak tepat. Menurut Bonnie, terminologi tersebut memunculkan interpretasi “ilegal” bagi tulisan sejarah versi lain, selain yang dibuat pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia meminta Kementerian Kebudayaan untuk memperjelas dan mengevaluasi proyek penulisan sejarah tersebut. “Istilah (sejarah resmi) tidak dikenal dalam kaidah ilmu sejarah, dan problematik baik secara prinsipil maupun metodologis," kata Bonnie dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat, 23 Mei 2025. 

Politisi PDI Perjuangan itu menyebut, akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaan proyek revisi naskah sejarah harus dijalankan dengan membuka ruang publik yang tak hanya melibatkan sejarawan profesional, tetapi juga masyarakat. Dia menyatakan bahwa sejarah adalah milik orang banyak dan menyangkut cara pandang mereka terhadap masa lalunya. 

Lebih lanjut, Bonnie mengatakan proyek penulisan sejarah yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan atas penggunaan tafsir tunggal. Apalagi, ujar dia, revisi naskah sejarah ini disponsori negara. "Syak wasangka atas tafsir tunggal ini berpotensi membungkam versi-versi lain dari peristiwa sejarah itu sendiri," tutur dia. 

Selain itu, ia mengingatkan bahwa penulisan sejarah harus dilakukan dalam cara-cara yang inklusif dan demokratis. "Diawali oleh pertemuan ilmiah yang terbuka bagi siapapun, bukan terkesan keinginan sepihak," kata Bonnie. 

Senada, Ketua DPR Puan Maharani juga meminta transparansi pemerintah kepada publik dalam proses penulisan ulang sejarah Indonesia.

“Yang penting jangan ada pengaburan atau penulisan ulang terkait sejarah yang tidak meluruskan sejarah," ujar Puan Maharanidikutip dari keterangan resmi pada Rabu, 21 Mei 2025. 

Puan menyinggung pesan "jas merah" yang dilontarkan mantan presiden Soekarno. Menurut dia, semboyan “jangan sekali-kali melupakan sejarah” harus dipegang teguh dan dijadikan pedoman ketika menulis ulang sejarah bangsa. 

Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, memang tak semua catatan sejarah bangsa Indonesia indah. Namun, Puan menyebut catatan-catatan itu penting agar nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah tetap dimaknai dan hidup di tengah masyarakat. “Harus tahu kenapa Indonesia berdiri, pahit dan getirnya, berhasil dan baiknya. Itu karena memang sudah banyak sekali hal yang terjadi," ujar dia. 

Sementara itu, anggota Komisi X DPR lainnya, Ellfonda Mekel atau yang lebih dikenal sebagai Once Mekel, juga menyampaikan pendapatnya terkait dengan proyek penulisan ulang sejarah yang sedang berlangsung.

"Saya kira yang menjadi hambatan dari kemajuan bangsa kita adalah ketidakjujuran kita sendiri," kata Once, dalam rapat dengar pendapat bersama akademisi, sejarawan, dan aktivis di Ruang Sidang Komisi X, Kompleks Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 19 Mei 2025.

Ia mengutip sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa fakta sejatinya bersifat netral dan tidak berpihak, sehingga apa pun kondisinya, fakta harus diungkapkan. "Apakah itu merugikan kita atau menguntungkan kita," tutur Once.

Adapun Kementerian Kebudayaan tengah merevisi naskah sejarah Indonesia. Alasan utama revisi ini adalah menyelaraskan kembali pengetahuan sejarah dengan berbagai temuan baru dari disertasi, tesis, ataupun penelitian para sejarawan. Nantinya, hasil penulisan ulang ini dibukukan secara resmi melalui pendanaan dari Kementerian Kebudayaan, bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Buku sejarah ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 atau tepatnya pada HUT kemerdekaan ke-80 RI.

"Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan 'sejarah resmi' (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Buku ini akan ditulis sebanyak 10 (sepuluh) jilid oleh sejarawan Indonesia sendiri secara kolektif," demikian dikutip dari draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia.

Rencana revisi penulisan sejarah Indonesia ini mendapat penolakan dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Aliansi ini terdiri dari sejumlah individu yang berlatarbelakang sejarawan, pegiat hukum, pegiat hak asasi manusia, hingga aktivis koalisi perempuan. 

Aliansi menilai proses penulisan itu memiliki tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan rekonstruksi suatu sejarah monumental tertentu. Menurut aliansi, tindakan ini juga merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |