Hari-hari Menjelang Reformasi 1998: Krisis Moneter, Mahasiswa Duduki DPR, Soeharto Lengser

5 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Mei 1998 menjadi titik balik sejarah bangsa Indonesia menuju era reformasi. Dalam satu bulan yang penuh gejolak, krisis moneter, gelombang demonstrasi mahasiswa, kerusuhan besar, hingga tragedi kemanusiaan dan akhirnya memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa.

Namun sebelum peristiwa bersejarah itu terjadi, terdapat sejumlah tragedi menuju era Reformasi. Berikut adalah rangkaian kejadian hingga terjadi lengsernya Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. Krisis Moneter 1997/1998

Pemicu utama gelombang protes dan kerusuhan Mei 1998 adalah krisis moneter yang melanda Asia, termasuk Indonesia, sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ini menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok drastis, harga-harga kebutuhan pokok melonjak, dan perekonomian nasional lumpuh. Masyarakat merasakan betul dampak kesulitan ekonomi ini, yang kemudian memicu ketidakpuasan mendalam terhadap pemerintah Orde Baru yang dianggap gagal mengatasi krisis.

2. Tragedi Empat Mahasiswa Trisakti Tewas (12 Mei 1998)

Aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta juga mencapai puncaknya pada 12 Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas menggelar aksi damai di sekitar kampus Universitas Trisakti menuntut Soeharto mundur.

Namun, aksi ini kembali dihadapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan. Tragisnya, empat mahasiswa Universitas Trisakti – Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie – tewas tertembak di dalam area kampus.

Meskipun Kapolri saat itu membantah penggunaan peluru tajam, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kemudian menyimpulkan bahwa korban tewas akibat peluru tajam. Tragedi Trisakti menjadi katalisator kemarahan publik yang lebih besar dan memicu gelombang kerusuhan yang meluas.

4. Kerusuhan Nasional (13-15 Mei 1998)

Sehari setelah Tragedi Trisakti, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia dilanda kerusuhan massal. Kemarahan rakyat yang terakumulasi akibat krisis ekonomi dan kekecewaan terhadap rezim Orde Baru meledak dalam bentuk aksi penjarahan, pembakaran, dan kekerasan. Di Jakarta, aksi berkabung di depan Universitas Trisakti justru memicu amarah massa yang kemudian meluas ke berbagai wilayah.

Kerusuhan ini secara tragis menyasar etnis Tionghoa, dipicu oleh sentimen anti-Tionghoa yang telah lama terpendam dan diperparah oleh tuduhan palsu bahwa etnis ini merupakan dalang krisis moneter. Penjarahan, pembakaran toko dan rumah milik warga Tionghoa, serta kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa menjadi pemandangan mengerikan selama tiga hari tersebut.

Tragedi Mall Klender dan Ciledug Plaza menjadi simbol kengerian kerusuhan ini, di mana ratusan orang tewas terpanggang. Kekerasan juga meluas ke Solo, Medan, Surabaya, dan Palembang.

5. Aksi Demo di DPR/MPR (18-20 Mei 1998)

Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Ketua DPR/MPR Harmoko pada 18 Mei 1998 mendesak Presiden Soeharto untuk mundur secara bijaksana. Meskipun awalnya ditanggapi sebagai pandangan pribadi oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto, desakan ini menunjukkan adanya perpecahan di dalam elite politik.

Pada 19 Mei 1998, Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam untuk mendengar aspirasi masyarakat dan mahasiswa yang semakin kuat menuntut pengundurannya. Meskipun Soeharto menyatakan tidak ingin dipilih kembali, aksi massa tidak mereda. Ribuan mahasiswa terus memadati Gedung MPR/DPR selama dua hari berikutnya, mendesak Soeharto untuk segera lengser dari jabatannya.

6. Soeharto Lengser (21 Mei 1998)

Puncak dari rangkaian peristiwa ini terjadi pada Kamis, 21 Mei 1998. Pukul 09.05 WIB, di Istana Merdeka, Soeharto lengser, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan. Jabatan presiden kemudian diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Momen ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru setelah 32 tahun dan disambut dengan sukacita oleh jutaan masyarakat Indonesia.

Raden Putri Alpadillah Ginanjar, Muhammad Rafi Azhari, Sukma Kanthi Nurani, Hendrik Khoirul Muhid, dan Khumar Mahendra turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |