Industri Peternakan Indonesia Mencetak Laba Triliunan Rupiah

2 months ago 65

(Beritadaerah-Kolom) Industri peternakan di Indonesia memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Peran ini tidak hanya terbatas pada penyediaan daging, susu, dan telur, tetapi juga berkaitan erat dengan penciptaan lapangan kerja, pembangunan ekonomi pedesaan, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto nasional. Berdasarkan publikasi Statistik Perusahaan Peternakan Ternak Besar dan Ternak Kecil 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, tercatat sebanyak 227 perusahaan peternakan ternak besar dan kecil yang terdata aktif atau sempat aktif sepanjang tahun 2024. Jumlah ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang mencerminkan bahwa sektor ini terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang menggembirakan.

Dari total 227 perusahaan tersebut, sebanyak 212 unit diketahui masih menjalankan kegiatan operasionalnya secara aktif hingga akhir tahun 2024. Sementara sisanya, baik karena kendala teknis maupun faktor eksternal, tidak aktif atau sedang dalam proses restrukturisasi. Perusahaan-perusahaan tersebut menjalankan dua aktivitas utama dalam peternakan, yaitu kegiatan pembibitan dan budidaya. Sebanyak 25 perusahaan terlibat dalam pembibitan sapi potong, dua perusahaan melakukan pembibitan kerbau, tujuh perusahaan fokus pada pembibitan kambing, tiga belas perusahaan bergerak di pembibitan domba, dan sembilan perusahaan menjalankan pembibitan babi. Namun, dari keseluruhan itu, hanya delapan belas perusahaan yang menjadikan pembibitan sebagai kegiatan utamanya.

Dengan kata lain, sebagian besar perusahaan peternakan lebih menitikberatkan pada kegiatan budidaya, yang mencakup pemeliharaan, penggemukan, dan pengelolaan ternak hingga siap panen. Dalam kategori budidaya ini, tercatat ada 209 perusahaan yang aktif sepanjang tahun tersebut. Rincian jenis ternak yang dibudidayakan menunjukkan dominasi pada sapi potong oleh 170 perusahaan, domba oleh 29 perusahaan, babi oleh 25 perusahaan, kambing oleh 21 perusahaan, kerbau oleh 8 perusahaan, dan kuda oleh 4 perusahaan. Menariknya, sebagian perusahaan mengelola lebih dari satu jenis ternak dalam kegiatan usahanya, yang mengindikasikan adanya kecenderungan diversifikasi untuk menekan risiko dan meningkatkan efisiensi.

Secara umum, badan hukum yang menaungi perusahaan-perusahaan peternakan ini didominasi oleh bentuk Perseroan Terbatas (PT), CV, atau Firma, dengan jumlah mencapai 206 unit. Hal ini menunjukkan bahwa sektor peternakan modern Indonesia lebih banyak digerakkan oleh entitas bisnis yang memiliki struktur dan sistem formal. Meski demikian, partisipasi dari koperasi, perusahaan milik negara atau daerah, serta yayasan juga tercatat. Sebanyak lima koperasi menjalankan kegiatan peternakan, tujuh perusahaan berasal dari sektor milik negara/daerah, dan sembilan yayasan yang umumnya mengelola peternakan dalam kerangka sosial, pendidikan, atau pelatihan.

Distribusi geografis perusahaan-perusahaan ini memperlihatkan konsentrasi terbesar di Pulau Jawa dengan proporsi sebesar 50,22 persen, yang bisa dimaklumi mengingat tingginya populasi, infrastruktur yang lebih matang, serta akses ke pasar yang lebih luas. Sumatera berada di posisi kedua dengan 24,67 persen, diikuti oleh Nusa Tenggara, Kalimantan, dan beberapa wilayah lainnya yang secara perlahan mulai menunjukkan geliat pengembangan sektor peternakan. Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya, tercatat mengalami peningkatan jumlah perusahaan peternakan yang paling cepat dalam kurun tiga tahun terakhir, yang menunjukkan potensi besar di wilayah timur Indonesia.

Terkait dengan status modal, sekitar 96,48 persen perusahaan merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sementara sisanya sebanyak 3,52 persen merupakan Penanaman Modal Asing (PMA). Rasio ini menunjukkan bahwa dominasi pelaku domestik dalam sektor ini masih sangat tinggi, meskipun peluang investasi dari luar negeri juga terbuka. Dari sisi perizinan, tercatat 66,52 persen perusahaan memperoleh izin dari pemerintah daerah, 22,03 persen dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan 11,45 persen dari BKPM maupun BKPMD. Pola perizinan ini mencerminkan dominasi regulasi daerah dalam pembinaan industri peternakan.

Dalam hal produksi, BPS mencatat bahwa populasi sapi potong yang dikelola oleh perusahaan mencapai angka 168.522 ekor, mengalami pertumbuhan sebesar 8,76 persen dibanding tahun sebelumnya. Populasi jantan mendominasi hingga 72,27 persen dari total, yang menunjukkan bahwa orientasi produksi lebih banyak diarahkan pada kebutuhan daging. Di sisi lain, populasi kerbau menurun drastis sebesar 90,01 persen hanya menyisakan 182 ekor, sedangkan populasi kuda turun 37,24 persen. Sementara itu, populasi ternak kecil memperlihatkan hasil yang lebih bervariasi. Populasi kambing berada di angka 1.031 ekor, domba 10.295 ekor, dan babi melonjak drastis hingga 520.544 ekor. Peningkatan populasi babi menjadi perhatian karena menandakan adanya perluasan pasar, khususnya di wilayah dengan mayoritas non-Muslim atau untuk keperluan ekspor.

Sistem pemeliharaan yang diterapkan oleh perusahaan peternakan terbagi menjadi tiga sistem utama: intensif, ekstensif, dan campuran. Sebagian besar atau sekitar 78,77 persen perusahaan menggunakan sistem intensif dengan ternak sepenuhnya dikandangkan dan diberikan pakan terkontrol. Sistem ini dinilai lebih efisien, terutama dalam hal pengawasan kesehatan ternak dan pengendalian limbah. Sistem campuran digunakan oleh 18,40 persen perusahaan, sementara hanya 2,83 persen yang mengandalkan sistem ekstensif. Penggunaan sistem ekstensif biasanya terbatas pada wilayah dengan lahan padang rumput luas seperti di sebagian daerah Nusa Tenggara Timur.

Dalam hal ketenagakerjaan, sektor ini menyerap 6.116 orang tenaga kerja, yang terdiri dari 4.570 pekerja tetap dan 1.546 pekerja tidak tetap. Komposisi gender dalam tenaga kerja ini sangat timpang: hanya 6,28 persen merupakan perempuan. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 9,46 persen. Fenomena ini mengindikasikan adanya hambatan struktural maupun budaya yang menyulitkan perempuan untuk terlibat secara signifikan dalam industri ini. Rendahnya partisipasi perempuan bisa disebabkan oleh beban fisik pekerjaan serta minimnya akses pelatihan keterampilan teknis yang ramah gender.

Dari sisi keuangan, total biaya yang dikeluarkan oleh seluruh perusahaan peternakan mencapai Rp2,18 triliun selama tahun 2024. Sebagian besar dana digunakan untuk pembelian pakan ternak sebesar 68,31 persen. Gaji tenaga kerja menyumbang 16,61 persen dari total biaya, sedangkan 15,08 persen lainnya digunakan untuk operasional, seperti biaya bahan bakar, listrik, air bersih, vaksinasi, pengobatan ternak, dan perawatan kandang. Dari sisi pendapatan, industri ini berhasil membukukan total pendapatan sebesar Rp3,53 triliun, dengan 98,64 persen berasal dari nilai pertambahan bobot ternak yang dijual. Sisanya berasal dari jasa peternakan, hasil olahan limbah seperti kompos dari kotoran, serta produk sampingan lainnya seperti susu dan kulit.

Jika dihitung dari selisih pendapatan dan pengeluaran, maka industri peternakan nasional mencatat laba bersih sekitar Rp1,35 triliun. Angka ini mencerminkan efisiensi yang cukup tinggi dan menunjukkan bahwa sektor ini memiliki daya tahan serta prospek profit yang menjanjikan. Di tengah tantangan global seperti krisis pangan, fluktuasi harga pakan, hingga ancaman penyakit ternak, kinerja ini menjadi bukti bahwa sektor peternakan mampu bertahan dan bahkan berkembang secara sehat.

Produktivitas per ekor ternak juga menjadi indikator penting dalam menilai efisiensi usaha. Untuk ternak besar, rata-rata nilai pertambahan bobot per ekor sapi mencapai Rp5,28 juta, kerbau Rp5,42 juta, dan kuda Rp3,44 juta. Sementara itu, untuk ternak kecil, kambing mencapai Rp1,20 juta, domba Rp1,13 juta, dan babi Rp2,50 juta per ekor. Nilai-nilai ini sangat bergantung pada manajemen pakan, kondisi kesehatan ternak, serta harga pasar saat panen.

Industri peternakan di Indonesia, khususnya yang berbadan hukum, tidak hanya mampu memenuhi permintaan domestik akan produk hewani, tetapi juga memiliki potensi besar untuk diekspor. Ke depan, strategi penguatan kelembagaan, pembenahan sistem distribusi, diversifikasi produk, serta peningkatan kapasitas SDM menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan sektor ini. Tantangan-tantangan yang ada, seperti rendahnya partisipasi perempuan dan kesenjangan antara daerah, harus diatasi dengan pendekatan kebijakan yang inklusif dan berbasis data. Dengan demikian, industri peternakan nasional akan tetap relevan, tangguh, dan adaptif dalam menghadapi perubahan zaman dan kebutuhan konsumen.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |