
SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Industri jurnalisme tengah menghadapi tantangan besar. Bukan hanya disrupsi digital yang mengubah wajah media, tetapi kini juga hadir kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang menambah tekanan bagi keberlangsungan pers.
Peringatan itu disampaikan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, dalam dialog bertema “Merawat Keadaban Bangsa di Tengah Desakan Epidemi Disinformasi dan Supremasi Kecerdasan Buatan”. Forum tersebut digelar di Monumen Pers Nasional Solo, Sabtu (4/10/2025), sekaligus rangkaian pengukuhan pengurus PWI Pusat periode 2025-2030.
Nezar menegaskan, disrupsi yang menghantam industri media bukanlah isu baru. Dalam satu dekade terakhir, media telah kehilangan banyak hal akibat hadirnya platform digital.
“Gelombang pertama adalah digitalisasi dengan platformisasi media sosial. Audiens berpindah ke platform yang mengatur aliran informasi lewat algoritma. Akibatnya, media kehilangan kedekatan dengan pembaca,” jelasnya.
Menurutnya, hubungan penerbit dan pembaca yang dulu begitu erat kini tergerus. Media hampir tak lagi memiliki audiens yang setia, dan hal ini ikut memengaruhi strategi bisnis mereka. Belum selesai menghadapi itu, kini datang gelombang kedua berupa generative AI yang mampu memproduksi konten secara otomatis.
Ia mencontohkan teknologi Google Veo3 yang dapat menciptakan video super realistik, bahkan figur manusia yang sebenarnya tidak pernah ada. “Teknologi ini bisa digunakan untuk hal positif, tapi juga rawan dipakai untuk praktik deepfake,” tegasnya.
Krisis Etika dan Keadaban
Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto, dalam kesempatan yang sama menekankan pentingnya menjaga adab dan etika. Ia menyebut, krisis keadaban kini makin terasa, termasuk di dunia jurnalisme.
“Catatan Dewan Pers sampai 30 Agustus, ada 879 pengaduan. Semuanya berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan sikap tidak menghargai sesama,” ungkap Totok.
Ia mengingatkan, di masa lalu, baik di era filsuf Sokrates maupun kerajaan Majapahit, etika selalu menjadi ukuran untuk menjerat mereka yang tak beradab. Namun kini, menurutnya, pelanggaran etika justru sering dibiarkan.
“Ini mengkhawatirkan, karena etika jauh lebih tinggi nilainya dibanding hukum positif,” ujarnya.
Tabloitisasi Ruang Media
Sementara itu, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat sekaligus Ketua Dewan Pengawas TVRI, Agus Sudibyo, menyoroti fenomena tabloitisasi media. Ia mengutip pandangan Julia Levkovich dari Oxford Internet Institute tentang dominasi pra-fakta di ruang media.
“Gosip, rumor, dan spekulasi seharusnya jadi pijakan untuk mencari fakta. Tapi kini, pra-fakta justru mendominasi isi pemberitaan,” terangnya.
Menurut Agus, distribusi konten saat ini ditentukan sepenuhnya oleh algoritma media sosial dan mesin pencari. “Algoritma tidak peduli apakah konten itu fakta atau sekadar dugaan. Yang penting viral dan ramai diperbincangkan. Akibatnya, media semakin kabur batasnya antara berita, gosip, hingga disinformasi,” jelasnya.
Ketiga pandangan tersebut menegaskan, dunia pers Indonesia kini menghadapi tiga tantangan utama: gempuran digitalisasi, hadirnya teknologi AI, serta krisis etika dan tabloitisasi. [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.