Kekerasan Terhadap Jurnalis saat Hari Buruh, KKJ Desak Kapolri Proses Hukum Anggotanya

14 hours ago 12

TEMPO.CO, Jakarta - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat kepolisian pada Hari Buruh Internasional pada Kamis, 1 Mei 2025. Koordinator KKJ Indonesia Erick Tanjung mengatakan mereka telah menerima laporan peristiwa kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi demonstrasi di Jakarta dan Semarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga saat ini, Komite Keselamatan Jurnalis masih menerima laporan dan memverifikasi peristiwa kekerasan terhadap jurnalis di sejumlah kota lainnya. "Komite Keselamatan Jurnalis mengecam dan mengutuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis," kata Erick Tanjung dalam pernyataan tertulisnya pada Sabtu, 3 Mei 2025. "Intimidasi menghambat jurnalis dalam mencari informasi yang telah diatur dalam undang-undang." 

Di Jakarta, jurnalis ProgreSIP dikeroyok, diancam, dan dipaksa menghapus hasil kerja jurnalistiknya oleh sekelompok orang berpakaian bebas yang diduga anggota polisi di gerbang gedung DPR RI. 

Sementara di Semarang, jurnalis Tempo menjadi korban kekerasan oleh sekelompok orang berpakaian bebas yang diduga anggota polisi saat meliput aksi demonstrasi Hari Buruh di gerbang pintu kantor Gubernur Jawa Tengah dan di gerbang pintu Undip di Peleburan, Semarang.

Erick mengatakan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput demonstrasi menjadi praktik buruk yang terus dibiarkan di tubuh kepolisian. Intimidasi dan perampasan alat kerja merupakan bentuk tindakan secara melawan hukum menghalangi atau menghambat pemenuhan hak pers.

Erick mengingatkan bahwa pers memiliki hak untuk mencari, mengolah. dan menyebarkan informasi, termasuk proses pengamanan aksi unjuk rasa yang dilakukan secara tidak prosedural. 

Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Beleid itu menegaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Tindak kekerasan oleh polisi berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat terhadap jurnalis saat meliput juga merupakan tindak pidana. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara. 

"KKJ mendesak kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik,” tegas Erick.

KKJ juga mendesak Kapolri dan jajarannya menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan, dan kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap para jurnalis yang sedang meliput. 

KKJ juga mendesak Panglima TNI menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang.

Kapolri dan Panglima TNI juga harus membuka investigasi praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi, dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan.

“Kami juga mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan. Dan mengimbau semua pihak, untuk ikut menjaga kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia,” ujar Erick.

Personel kepolisian diduga memukul jurnalis Tempo yang sedang meliput demonstrasi Hari Buruh Internasional di Semarang, Jawa Tengah pada Kamis, 1 Mei 2025. Aksi memperingati hari pekerja sedunia itu berujung ricuh saat polisi membalas massa yang merusak pagar Kantor Gubernur Semarang dengan tembakan gas air mata dan meriam air.

Jamal Abdun Nashr, wartawan Tempo yang berada di lokasi, sedang meliput penangkapan massa aksi saat diduga aparat kepolisan dengan pakaian preman berupaya meringkusnya. Kejadian itu berlangsung pada sekitar pukul 17.30 WIB.

Saat itu, kata Jamal, sejumlah orang berbadan tegap dengan pakaian sipil tampak membawa pergi beberapa demonstran dari area kantor Gubernur Semarang tempat aksi berlangsung.

Jamal menilai penangkapan tersebut dilakukan dengan tidak manusiawi karena disertai penyeretan dan aksi represif. "Saya coba merekam, mereka kan kalau direkam enggak mau, nah terus saya ditarik, dibawa, sambil mereka coba merebut handphone saya. Dipiting begitu," kata Jamal melalui sambungan telepon pada Kamis malam.

Jamal baru bisa lepas dari diduga aparat yang memitingnya setelah jurnalis lain meneriaki orang yang membawanya. Saat kejadian yang berlangsung beberapa menit itu, Jamal menggunakan tanda pengenal wartawan. Dia juga menyampaikan kepada orang yang memitingnya bahwa dirinya seorang jurnalis yang sedang meliput.

Aksi kekerasan kedua terhadap Jamal terjadi sekira pukul 21.00 WIB. Saat itu, kata dia, aparat sedang mengepung massa aksi yang berada di Kampus Universitas Diponegoro, Pleburan, Semarang.

Gedung itu berlokasi kurang lebih 450 meter dari Kantor Gubernur Jawa Tengah. Aparat diduga mengepung gedung tersebut karena massa aksi menahan salah satu intel kepolisian.

Jamal bersama lima orang wartawan lainnya sedang memantau situasi tersebut dari depan gedung saat diduga aparat menggiring beberapa massa aksi keluar. Menurut Jamal, para demonstran itu mengalami pemukulan saat ditangkap.

Jamal dan rekan-rekannya kemudian berdiri untuk mewartakan penangkapan tersebut. "Kami otomatis berdiri melihat situasi seperti itu," ucap dia.

Orang yang diduga aparat itu menangkap demonstran, alu melarang wartawan mendekat. Mereka juga menghalangi jurnalis mengambil gambar dan video. Jamal berujar situasi kemudian memanas. Orang-orang yang diduga aparat berpakaian preman menunjuk salah satu jurnalis dengan nada tinggi karena ogah direkam. 

Jamal lalu mengatakan bahwa mereka adalah wartawan. "Kami kemudian berusaha menetralkan situasi, tapi ternyata saya malah kena beberapa kali pukulan," kata Jamal.

Menurut Jamal, dirinya mendapatkan pukulan setidaknya tiga kali di area kepala. Saat penghantaman terjadi, kata dia, ada seorang petinggi Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang berada di sampingnya. "Sedang merangkul saya, tapi saya tetap dipukulin," ucapnya. Jamal berujar sang petinggi polisi tidak berupaya melarang aksi kekerasan itu.

Hingga berita ini ditulis, Tempo masih berupaya meminta konfirmasi kepada Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas kejadian kekerasan terhadap wartawan. Artanto belum menanggapi pesan singkat yang menanyakan soal insiden kekerasan tersebut.

Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |