(Beritadaerah – Kolom) Setelah pandemi menghantam industri penerbangan global dan menyebabkan banyak maskapai gulung tikar atau menutup rute internasionalnya, kini muncul tren baru yang mulai diam-diam mengubah peta transportasi udara: kebangkitan penerbangan jarak jauh berbiaya murah. Meskipun tidak segegap-gempita era awal maskapai ultra low-cost seperti AirAsia X atau Norwegian Air, sejumlah pemain baru dan lama mulai kembali menguji pasar long-haul budget dengan pendekatan yang lebih terukur dan berorientasi pada efisiensi.
Kebangkitan model penerbangan jarak jauh berbiaya murah turut menciptakan peluang dan tantangan tersendiri. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah diaspora yang besar di Timur Tengah, Asia Timur, dan Australia, serta sebagai salah satu destinasi wisata unggulan dunia, Indonesia memiliki posisi strategis untuk terlibat langsung dalam tren ini—baik sebagai pasar maupun sebagai penghubung regional.
Sebelum pandemi, Indonesia sempat menjadi bagian penting dari ekspansi maskapai low-cost long-haul seperti AirAsia X dan Scoot. Rute-rute seperti Jakarta–Tokyo, Bali–Sydney, atau Kuala Lumpur–Jeddah menjadi jalur yang padat bagi wisatawan dan pekerja migran. Namun saat pandemi menghantam, banyak rute tersebut dihentikan. Kini, perlahan-lahan rute-rute itu mulai kembali, meskipun belum dalam skala penuh.
AirAsia X, misalnya, telah mengumumkan rencana untuk membuka kembali rute ke Australia dan Jepang, dan kemungkinan besar akan menjadikan Bali sebagai titik transit utama di Indonesia. Scoot, anak usaha Singapore Airlines, juga terus mempertahankan rute-rute ke kota-kota besar di Indonesia, dengan potensi perpanjangan ke jarak menengah dan jauh. Di sisi lain, maskapai nasional Garuda Indonesia dan anak perusahaannya Citilink belum banyak bergerak ke arah model long-haul berbiaya rendah, tetapi pemerintah mulai terbuka terhadap potensi kerja sama dengan operator asing.
Bandara-bandara internasional Indonesia, seperti Bandara Soekarno-Hatta (CGK), Ngurah Rai (DPS), dan Kualanamu (KNO), menjadi kandidat penting dalam peta ekspansi maskapai budget long-haul. Namun tantangan logistik, slot penerbangan, dan struktur biaya bandara yang belum serendah hub alternatif di Asia Tenggara seperti Don Mueang (Bangkok) atau KLIA2 (Kuala Lumpur) masih menjadi penghambat.
Dari sisi permintaan, Indonesia sebenarnya sangat menjanjikan. Banyak pekerja migran asal Indonesia yang tinggal di Malaysia, Arab Saudi, UEA, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, wisatawan domestik berpenghasilan menengah yang ingin bepergian ke luar negeri dengan biaya terjangkau juga terus bertambah. Demografi ini cocok dengan model maskapai long-haul murah yang menjual harga tiket dasar, lalu mengenakan biaya tambahan untuk layanan seperti bagasi, makanan, dan pemilihan kursi.
Pemerintah Indonesia juga memiliki insentif untuk mendukung model ini, terutama untuk mendongkrak pariwisata pascapandemi. Destinasi seperti Bali, Lombok, Labuan Bajo, dan Yogyakarta membutuhkan koneksi langsung dari pasar-pasar internasional. Kehadiran maskapai long-haul murah akan membuka akses bagi wisatawan dari Eropa dan Asia Timur untuk masuk langsung ke kota-kota sekunder tanpa harus transit di Jakarta atau Singapura.
Namun, infrastruktur pendukung di luar bandara masih menjadi tantangan. Hotel, transportasi darat, dan kesiapan digitalisasi untuk layanan imigrasi dan pariwisata perlu ditingkatkan agar bisa menyerap volume wisatawan yang dibawa oleh model maskapai seperti ini. Selain itu, regulasi dan kerangka kerja sama udara bilateral juga harus disesuaikan, agar operator asing bisa beroperasi lebih leluasa tanpa tersandung hambatan birokrasi.
Untuk mendukung potensi ini, Indonesia dapat belajar dari negara-negara seperti Thailand dan Filipina yang sudah lebih dulu membuka diri terhadap kehadiran maskapai long-haul berbiaya rendah. Insentif landing fee yang rendah, slot penerbangan malam, serta penyederhanaan izin operasi bisa mendorong Indonesia menjadi pusat transit baru di Asia Tenggara. Apalagi letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah antara Asia Timur, Australia, dan Timur Tengah memberi posisi kompetitif secara alami.
Dalam jangka panjang, kebangkitan penerbangan jarak jauh murah bisa menjadi pendorong pertumbuhan konektivitas Indonesia ke dunia global. Namun untuk memanfaatkan momentum ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya reaktif, tapi juga strategis: membangun kolaborasi antara maskapai asing dan domestik, menyiapkan SDM aviasi, serta merancang kebijakan yang mendorong efisiensi dan keterbukaan pasar penerbangan internasional.
Jika dilakukan dengan tepat, Indonesia bukan hanya menjadi penonton tren global ini, tetapi justru bisa menjadi simpul penting dalam jaringan penerbangan murah lintas benua. Sebuah peluang besar—yang datang dalam diam—untuk membawa Indonesia terbang lebih jauh.
Seperti dilaporkan oleh The Wall Street Journal dan Reuters, perusahaan-perusahaan seperti Norse Atlantic Airways, French Bee, dan LEVEL kini mengoperasikan penerbangan lintas benua dengan tarif yang secara signifikan lebih murah daripada maskapai tradisional. Misalnya, Norse Atlantic yang berbasis di Oslo menawarkan tiket dari Eropa ke AS dengan harga yang dapat bersaing dengan penerbangan domestik. Mereka mengoperasikan pesawat Boeing 787 Dreamliner dengan model kabin yang lebih padat dan tanpa layanan tambahan gratis—kecuali penumpang bersedia membayar.
Model ini bukanlah hal baru. Norwegian Air sempat menjadi pelopor dalam menciptakan model penerbangan long-haul low-cost, tetapi akhirnya kolaps akibat kombinasi dari biaya tinggi, ekspansi agresif, dan dampak COVID-19. Namun kini, pelaku baru tampak lebih berhati-hati. Mereka tidak mencoba membuka terlalu banyak rute sekaligus, lebih fokus pada koneksi antara kota-kota dengan permintaan diaspora atau wisata tinggi, dan menggunakan armada yang lebih efisien bahan bakar.
Salah satu faktor pendorong kebangkitan ini adalah perubahan perilaku konsumen. Setelah dua tahun lebih dibatasi untuk bepergian, banyak pelancong kini lebih fleksibel soal kenyamanan, dan lebih fokus pada harga. “Saya bisa duduk di kursi sempit selama 10 jam jika itu berarti saya bisa mengunjungi keluarga saya di Eropa,” ujar seorang penumpang dalam wawancara dengan Bloomberg di terminal JFK. Banyak pelancong milenial dan gen Z, yang cenderung mencari pengalaman, juga lebih bersedia beradaptasi dengan fasilitas minimal asalkan ongkos terjangkau.
Di sisi lain, maskapai penerbangan tradisional juga merasakan tekanan. Kembalinya pemain budget ke rute jarak jauh membuat mereka harus menyesuaikan strategi tarif. Beberapa bahkan meluncurkan tarif “basic economy” yang tidak menyertakan bagasi atau makanan, untuk menyaingi maskapai low-cost. Meskipun margin keuntungan tetap kecil, potensi pasar long-haul tetap besar, terutama untuk destinasi seperti Asia Tenggara, Amerika Serikat bagian barat, dan Eropa selatan.
Namun tentu saja, model ini tidak tanpa tantangan. Penerbangan lintas benua memerlukan modal besar, perizinan yang kompleks, dan sensitif terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Selain itu, reputasi maskapai budget sering kali menjadi hambatan tersendiri. Banyak konsumen masih mengingat buruknya pengalaman dengan delay, pembatalan, atau layanan pelanggan yang minim dari maskapai-maskapai yang kini sudah bangkrut.
Namun para pemain baru tampak belajar dari masa lalu. Norse Atlantic, misalnya, hanya mengoperasikan pesawat jenis yang sama untuk mengurangi biaya pelatihan kru dan perawatan. Mereka juga bermitra dengan operator darat dan digital platform untuk memastikan integrasi layanan, termasuk pembelian makanan, hiburan, dan bagasi secara mandiri oleh pelanggan. Bahkan dalam beberapa kasus, biaya total penerbangan pergi-pulang tetap lebih murah dari maskapai full-service, meskipun penumpang membeli semua tambahan.
Dalam konteks global, munculnya penerbangan long-haul murah juga mendapat dukungan dari bandar udara sekunder yang menawarkan insentif besar untuk mendatangkan lalu lintas internasional. Kota-kota seperti Oakland, Newark, Gatwick, dan Orly menjadi hub alternatif yang jauh lebih terjangkau dibandingkan Heathrow, JFK, atau Charles de Gaulle. Keuntungan ini kemudian diteruskan kepada konsumen dalam bentuk tiket murah.
Asia, yang dulu menjadi ladang pertumbuhan untuk model ini, juga mulai melihat tanda-tanda kebangkitan. Maskapai seperti AirAsia X perlahan mengembalikan rute ke Australia dan Jepang. Sementara di India, Akasa Air mempertimbangkan ekspansi regional dengan model low-cost medium-haul. Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pun diuntungkan oleh model ini karena tingginya permintaan pekerja migran dan pelancong ekonomi yang ingin terbang antar-negara tanpa beban biaya tinggi.
Meski belum ada yang bisa memastikan apakah model ini akan bertahan dalam jangka panjang, kebangkitan diam-diam ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan penerbangan jarak jauh yang terjangkau masih besar. Seiring dengan kemajuan teknologi pesawat dan efisiensi bahan bakar, para pelancong di dunia pascapandemi tampaknya bersedia menukar kenyamanan demi mobilitas.
Sementara dunia terus membuka diri setelah tertutup akibat pandemi, pasar penerbangan pun bertransformasi. Dalam lanskap yang kini lebih berhati-hati dan fokus pada nilai ekonomis, penerbangan long-haul murah sekali lagi mendapat tempat. Tidak lagi dengan sorotan besar atau ekspansi ambisius seperti sebelumnya, tetapi dengan strategi yang lebih kalem, efisien, dan, barangkali, lebih tahan banting.