(Beritadaerah-Jakarta) Di tengah ketegangan geopolitik dan disrupsi rantai pasok global, Amerika Serikat dikabarkan telah menyetujui perjanjian tarif dagang baru dengan Indonesia. Informasi tersebut disampaikan oleh tokoh politik AS, Donald Trump, melalui kanal pribadinya *Social Truth*, yang menyebutkan bahwa produk asal Indonesia kini hanya dikenakan bea masuk sebesar 19 persen—jauh di bawah rencana sebelumnya dan lebih kompetitif dari tarif yang dikenakan pada produk sejenis dari negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Pengamat ekonomi dari Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian, menyatakan bahwa capaian tersebut tak hanya bermakna secara angka, namun juga mempertegas pengakuan internasional terhadap peran strategis Indonesia di sektor mineral dan energi. Ia menilai bahwa kehadiran sumber daya seperti tembaga dan logam tanah jarang telah membuat Indonesia semakin diperhitungkan dalam peta ekonomi global, terutama dalam konteks transisi menuju energi bersih.
Selain insentif tarif, kesepakatan bilateral itu juga memuat sejumlah komitmen, termasuk pembelian pesawat Boeing dan penguatan kerja sama di bidang pertanian dan energi. Namun, yang dianggap paling fundamental adalah pengakuan atas posisi Indonesia dalam rantai pasok global untuk mineral krusial yang menjadi tulang punggung industri teknologi tinggi dan kendaraan listrik.
Fakhrul melihat perbedaan tarif tersebut membuka peluang relokasi industri manufaktur dari negara-negara Asia Tenggara lain ke Indonesia. Ia menyebut bahwa masuknya investasi asing sebesar USD 200–300 juta dalam dua tahun mendatang merupakan proyeksi yang masuk akal, terutama ke kawasan industri berbasis ekspor.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya respons cepat dari dalam negeri. Menurutnya, saat ini adalah momentum tepat bagi Bank Indonesia untuk mulai melonggarkan kebijakan moneter, seiring dengan inflasi yang terkendali, penguatan nilai tukar rupiah, dan meredanya tekanan eksternal. Pemangkasan suku bunga acuan, menurutnya, akan menjadi sinyal yang memperkuat sentimen pasar dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi.
Fakhrul juga membandingkan dengan langkah-langkah negara tetangga seperti India dan Malaysia yang telah lebih dahulu menurunkan suku bunga. Apabila Indonesia mengambil langkah serupa dalam waktu dekat, hal itu diyakini dapat mengundang kembali aliran modal asing, memperkuat rupiah hingga menyentuh Rp15.500 per dolar AS, serta mengangkat kinerja pasar saham domestik ke level 7.750 hingga akhir tahun.
Trimegah memperkirakan bahwa sektor yang akan mendapat dorongan paling besar pada paruh kedua 2025 mencakup komoditas logam strategis seperti nikel, tembaga, dan aluminium, serta sektor konsumsi yang berpotensi pulih seiring meningkatnya belanja pemerintah dan daya beli masyarakat.
Meski prospek positif terlihat nyata, Fakhrul menekankan bahwa semuanya akan bergantung pada kecepatan dan ketepatan eksekusi kebijakan pemerintah. Ia menyebut bahwa tarif rendah hanyalah permulaan—sementara penentu keberhasilan jangka panjang adalah konsistensi dalam strategi industrialisasi, keberanian dalam reformasi moneter, dan ketepatan dalam pengelolaan anggaran.
Di tengah perubahan lanskap ekonomi global, Indonesia dianggap memiliki peluang langka untuk mengukuhkan perannya. Namun peluang itu, menurutnya, tidak akan terbuka selamanya. Dunia kini tengah mencari mitra baru dalam rantai pasok strategis, dan Indonesia memiliki bekal yang dibutuhkan. Kini, kata kuncinya adalah: jangan terlambat bergerak.