Langkah Kecil Pekerja, Perubahan Besar Negeri

1 month ago 40

(Beritadaerah-Kolom) Pagi buta di Bogor, kabut masih menggantung di antara pepohonan, sementara deru kereta pertama menuju Jakarta sudah terdengar. Di dalam gerbong, Rudi menatap kosong ke luar jendela. Sudah tujuh tahun ia menjalani rutinitas yang sama: bangun sebelum fajar, menempuh perjalanan dua jam ke pabrik garmen tempatnya bekerja, lalu pulang menjelang malam. Ia sering bergurau pada istrinya bahwa separuh umurnya habis di jalan. Namun di balik canda itu, ada rasa lelah yang menumpuk dan harapan yang belum tuntas. Rudi hanyalah satu dari jutaan pekerja Indonesia yang memilih jalur hidup sebagai komuter. Menurut catatan Badan Pusat Statistik dalam laporan Sakernas 2024, sekitar lima persen pekerja di negeri ini setiap hari harus melintasi batas kota atau kabupaten demi pekerjaan. Bagi Rudi, pilihan ini adalah cara terbaik agar anak-anaknya bisa tetap sekolah di sekolah yang layak, meski konsekuensinya ia jarang menikmati makan malam bersama keluarga.

Jauh dari hiruk pikuk Bogor, di sebuah desa kecil di Lombok Timur, Siti sedang menutup koper tuanya. Pagi itu, ia bersiap meninggalkan rumah untuk berangkat ke bandara. Di dalam koper, hanya ada beberapa helai pakaian, foto keluarga, dan beberapa buah tangan sederhana. Ia tahu perjalanan kali ini berbeda. Siti akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur. Suaminya mencoba menahan, tapi keadaan ekonomi keluarga membuat pilihan itu terasa satu-satunya jalan. Ia teringat wajah anak-anaknya yang masih kecil, terutama putrinya yang baru masuk sekolah dasar. Dengan suara bergetar, ia berjanji pada mereka bahwa keberangkatannya akan membawa kehidupan yang lebih baik. Data Sakernas 2024 menunjukkan bahwa provinsi seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih menjadi daerah asal utama pekerja migran luar negeri. Di daerah-daerah ini, kurangnya lapangan kerja formal mendorong banyak perempuan seperti Siti untuk mencari peruntungan di luar negeri.

Sementara itu, di Jawa Tengah, seorang pemuda bernama Andi baru saja lulus SMA. Sebagian besar teman-temannya tetap tinggal di desa, membantu orang tua di sawah. Namun Andi merasa ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Ia merantau ke Semarang dan mendapat pekerjaan sebagai staf di sebuah toko gawai. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup seadanya. Lebih dari itu, ia merasa punya kesempatan belajar hal baru. Andi adalah bagian dari generasi muda yang semakin berani meninggalkan pekerjaan tradisional. Sakernas 2024 mencatat bahwa kelompok usia muda adalah yang paling sering berpindah pekerjaan, mencari gaji lebih baik atau sekadar pengalaman. Perpindahan ini menggambarkan arah ekonomi Indonesia yang perlahan meninggalkan dominasi sektor pertanian menuju jasa dan perdagangan.

Di sisi lain, Yuli, seorang ibu muda di Yogyakarta, menghadapi keputusan sulit. Setelah melahirkan anak keduanya, ia berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan pembiayaan. Awalnya ia berniat kembali bekerja setelah cuti, tetapi biaya pengasuhan anak terlalu tinggi, dan ia merasa tidak tega meninggalkan bayi kecilnya sepanjang hari. Akhirnya, Yuli memilih berjualan kue secara daring dari rumah. Ia menikmati fleksibilitas itu, bisa tetap bersama anak-anak, tetapi juga sadar penghasilannya tidak sebanding dengan pekerjaan kantornya dulu. Ia kehilangan jaminan kesehatan dan kepastian gaji bulanan. Fenomena seperti Yuli menggambarkan apa yang disebut BPS sebagai mobilitas nonspasial, yakni pergeseran dari pekerjaan formal ke informal. Sakernas 2024 menegaskan bahwa perempuan lebih sering menghadapi transisi semacam ini karena beban domestik. Mobilitas mereka sering kali bukan pilihan bebas, melainkan tuntutan keadaan.

Di balik kisah-kisah kecil itu, Sakernas 2024 menyingkap gambaran besar tentang tenaga kerja Indonesia. Mayoritas pekerja masih memilih bekerja di daerah asal. Dari sepuluh pekerja, sembilan tetap berada di kabupaten atau kota tempat mereka tinggal. Hanya sekitar tujuh persen yang benar-benar pindah ke wilayah lain. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sebagian besar pekerja cenderung mencari keamanan di sekitar lingkungannya, meskipun kesempatan lebih luas ada di luar. Namun angka kecil ini tidak boleh dianggap remeh. Mereka yang berani pindah—para movers—sering menjadi pionir dalam transformasi tenaga kerja.

Pulau Jawa masih menjadi pusat pergerakan itu. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur mencatat jumlah migrasi tertinggi. Ini tidak mengherankan karena industri, jasa, dan pendidikan memang banyak terkonsentrasi di sana. Selama keseimbangan pembangunan belum tercapai, arus migrasi ke Jawa akan terus kuat. Fenomena ini seperti medan magnet yang sulit dilawan. Sementara itu, wilayah luar Jawa masih berjuang agar mampu menjadi pusat penyerapan tenaga kerja, sehingga tidak hanya menjadi daerah asal migran.

Kualitas pendidikan terbukti menjadi penentu penting. Mereka yang berpendidikan SMA ke atas lebih berani bergerak dan lebih mungkin masuk ke sektor formal. Sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah cenderung hanya berpindah dari satu pekerjaan informal ke pekerjaan informal lainnya. Di Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, sebagian besar migran bekerja di sektor formal. Tetapi di NTB, NTT, dan Lampung, hampir separuh migran masih bekerja di sektor informal. Ini menunjukkan bahwa mobilitas tidak otomatis membawa kesejahteraan. Tanpa dukungan lapangan kerja formal, perpindahan hanya berarti melompat dari satu kerentanan ke kerentanan lain.

Selain mobilitas dalam negeri, migrasi luar negeri masih menjadi pilihan banyak pekerja. Siti adalah salah satu contoh nyata. Ia berharap penghasilan di Malaysia bisa menutup biaya pendidikan anak-anaknya. Namun, risiko besar menanti. Dari laporan BPS, kita tahu banyak pekerja migran perempuan menghadapi diskriminasi, pekerjaan yang tidak sesuai kontrak, bahkan eksploitasi. Mobilitas internasional memberi peluang pendapatan, tetapi tanpa perlindungan yang memadai, justru bisa memperparah kerentanan sosial.

Fenomena komuter seperti yang dijalani Rudi juga membawa konsekuensi. Transportasi publik memang memungkinkan mereka tetap tinggal di daerah dengan biaya hidup lebih murah, tetapi harga yang dibayar adalah waktu dan tenaga. Bayangkan setiap hari dua hingga tiga jam habis di perjalanan, membuat waktu bersama keluarga tergerus dan produktivitas menurun. Tantangan ini mengingatkan kita bahwa mobilitas tenaga kerja tidak bisa dipisahkan dari kebijakan transportasi, perumahan, dan tata kota.

Bila kita satukan semua cerita ini, muncul gambaran bahwa mobilitas tenaga kerja Indonesia sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, ada peluang besar: generasi muda yang lebih berani merantau, infrastruktur transportasi yang membuka akses, dan pasar tenaga kerja global yang masih menyerap pekerja migran. Di sisi lain, ada tantangan yang nyata: ketimpangan antarwilayah, dominasi sektor informal, beban domestik yang menekan perempuan, serta risiko pekerja migran di luar negeri.

Pertanyaannya, apakah langkah-langkah kecil para pekerja ini mampu membawa perubahan besar bagi negeri? Jawabannya bergantung pada bagaimana kebijakan diarahkan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap perpindahan membawa pekerja ke arah lebih baik. Itu berarti memperluas kesempatan kerja formal, terutama di luar Jawa, memperkuat sistem jaminan sosial agar pekerja yang berpindah tidak jatuh ke jurang ketidakpastian, serta memberikan akses pendidikan dan pelatihan agar tenaga kerja memiliki daya saing.

Mobilitas tenaga kerja bukan sekadar soal perpindahan fisik dari desa ke kota atau dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Ia adalah perjalanan hidup yang menyimpan harapan, pengorbanan, dan kadang air mata. Rudi yang menghabiskan waktunya di kereta, Siti yang berani meninggalkan keluarga demi masa depan anak-anaknya, Andi yang mencoba menantang takdir dengan merantau ke kota, dan Yuli yang berjuang menyeimbangkan peran ibu dan pekerja, semuanya adalah cermin wajah tenaga kerja Indonesia hari ini.

Kisah mereka mengingatkan kita bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa hanya dihitung dalam angka pertumbuhan atau persentase migrasi. Di balik statistik ada manusia dengan mimpi dan perjuangan. Setiap langkah kecil pekerja adalah bagian dari langkah besar bangsa menuju masa depan. Jika langkah itu diarahkan dengan kebijakan yang tepat, maka mobilitas tenaga kerja tidak hanya menjadi pusaran perubahan, tetapi juga menjadi jalan menuju kesejahteraan yang lebih merata.

Mobilitas adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan Indonesia modern. Para pekerja terus bergerak, bukan hanya mencari nafkah, tapi juga menulis cerita baru tentang perubahan. Dari stasiun ke stasiun, dari desa ke kota, dari tanah air ke negeri orang, langkah kecil mereka perlahan membentuk arus besar yang akan menentukan wajah Indonesia di masa depan.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |