REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di tengah situasi global yang kerap diwarnai konflik dan keputusasaan, Board Madani International Film Festival Inayah Wahid mengingatkan pentingnya kebudayaan sebagai ruang penyembuhan. Dalam gelaran Madani Fest 2025 yang mengusung tema “Misykat”, ia menyebut gerakan kebudayaan perlu menjadi cahaya kecil yang menuntun masyarakat menuju empati dan kemanusiaan.
“Madani Fest kami harapkan bisa menjadi misykat, ceruk kecil berisi cahaya yang ikut menerangi gelapnya keadaan hari ini. Kami tidak ingin hanya menjadi ruang selebrasi, tapi juga ruang penyembuhan bagi masyarakat yang masih menyimpan banyak luka,” ujar Inayah dalam sambutannya saat konferensi pers Madani International Film Festival di Jakarta pada Selasa (7/10/2025).
Menurut Inayah, kondisi sosial dan budaya saat ini menunjukkan banyak bagian dari noktah Indonesia yang masih menyimpan luka dan ketidakadilan. Ia menilai, kebudayaan memiliki tanggung jawab besar untuk tidak membiarkan kelupaan terjadi.
Menurut dia, Madani ingin menjadi ruang aman bagi siapa pun untuk berdialog dan mengekspresikan diri tanpa takut. Dari ruang aman itulah diharapkan muncul ide dan karya kebudayaan yang jujur, organik, dan reflektif terhadap kenyataan sosial.
Film yang memandang kebudayaan bukan sekadar hiburan, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam konteks global, hal ini terlihat jelas bagaimana film-film bertema Palestina muncul sebagai bentuk ekspresi kebudayaan yang kuat dan menyentuh sisi kemanusiaan.
Film seperti The Voice of Hind Rajab karya sutradara Kaouther Ben Hania, berhasil mencuri perhatian dunia lewat kisah tragis Hind Rajab, bocah perempuan Palestina berusia lima tahun yang tewas dalam serangan militer Israel di Gaza. Film tersebut mendapatkan standing ovation terlama di Festival Film Venesia.
Menanggapi fenomena tersebut, Inayah menilai keberhasilan film-film bertema Palestina di panggung dunia adalah bukti bahwa kemanusiaan masih menjadi bahasa yang universal. “Dengan film-film yang mengangkat isu global seperti itu, dan mendapat perhatian luas, semoga itu bukan hanya karena kualitas sinemanya, tapi karena dunia mulai kembali mendengar, bahwa ada luka yang belum sembuh,” ujarnya.
Ia berharap karya-karya seperti itu dapat menjadi inspirasi seniman untuk terus menyuarakan nilai-nilai melalui kebudayaan. “Harapan kami, Madani bisa menjadi laboratorium bagi munculnya karya-karya kebudayaan yang membawa semangat penyembuhan. Karena kalau kita kehilangan ruang untuk berbicara dan berempati, kita akan benar-benar kehilangan cahaya,” ungkapnya.
Bagi Inayah, gerakan seperti Madani adalah bagian dari perjalanan panjang kebudayaan Indonesia untuk tetap berpihak pada kemanusiaan. Ia menutup pemaparannya dengan keyakinan bahwa langkah kecil tetap harus dijaga.
Sebagai wujud nyata semangat tersebut, Madani Fest 2025 menayangkan beberapa film yang mengisahkan krisis kemanusiaan yang berlangsung di Palestina, salah satunya All That’s Left of You (2025), disutradarai oleh Cherien Dabis, film ini mengisahkan tentang seorang remaja Palestina berhadapan dengan tentara Israel dalam sebuah protes di Tepi Barat yang menggambarkan sejarah luka, trauma, dan perlawanan keluarga Palestina.
Inayah mengatakan, keterlibatan Madani dengan isu Palestina bukan hal baru. Sejak dua tahun lalu, festival ini telah berupaya menjembatani dialog antara publik Indonesia dan para pembuat film Palestina.
“Persis setelah awal kejadian genosida dua tahun lalu, Madani juga mengajak sineas Palestina untuk bicara langsung, agar masyarakat Indonesia juga mendengar langsung dari sana,” ujar Inayah.