Mengapa Sopan Santun pada AI Penting bagi Indonesia

3 months ago 110

(Beritadaerah-Kolom) Indonesia dikenal sebagai negara dengan budaya tutur yang menjunjung tinggi sopan santun. Dalam setiap percakapan, kata-kata seperti tolong, maaf, dan terima kasih bukan hanya formalitas, tapi bagian dari etika sosial yang diwariskan lintas generasi. Dalam konteks ini, kebiasaan menggunakan kata-kata sopan saat berbicara dengan AI seperti chatbot, asisten virtual, atau mesin kasir otomatis menjadi perpanjangan dari nilai-nilai kultural yang sudah tertanam kuat. Meskipun AI tidak memiliki emosi, memperlakukan mesin dengan bahasa yang santun tetap mencerminkan kepribadian dan nilai yang dibawa oleh penggunanya.

Dengan semakin luasnya penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, mulai dari layanan perbankan hingga aplikasi pendidikan, interaksi manusia dan mesin pun meningkat pesat. Anak-anak yang tumbuh dengan perintah seperti “buka YouTube sekarang” atau “matikan lampu!” bisa saja membawa pola komunikasi itu ke kehidupan nyata. Dalam jangka panjang, interaksi yang dingin dan tanpa sopan santun terhadap AI berisiko menurunkan sensitivitas sosial pengguna terhadap sesama manusia. Hal ini menjadi perhatian tersendiri di tengah usaha membangun generasi yang tidak hanya cakap digital, tapi juga berkarakter.

Meski sebagian orang mungkin menganggap sopan santun terhadap mesin sebagai hal sia-sia, banyak ahli menyebut bahwa kebiasaan kecil seperti itu dapat memperkuat empati dan kesadaran sosial. Scientific American dan The Wall Street Journal mencatat bahwa membiasakan diri menggunakan kata sopan, bahkan kepada objek yang tidak hidup, dapat memperkuat kebiasaan bersikap baik dalam interaksi sosial yang sebenarnya. Maka dari itu, sopan santun kepada AI bisa dilihat bukan sebagai cara menghormati teknologi, melainkan sebagai cermin bagaimana manusia memperlakukan sesama.

Indonesia juga memiliki peluang unik dalam membentuk AI lokal yang mendorong nilai kesopanan. Bayangkan jika chatbot dalam aplikasi pemerintahan atau e-commerce Indonesia memberikan respons khusus saat pengguna mengucapkan “terima kasih” atau “maaf”. Bentuk kecil dari penguatan positif semacam itu bisa menjadi cara untuk memperkuat norma sosial di tengah kemajuan teknologi. Dalam masyarakat yang masih sangat mengandalkan hubungan interpersonal, mesin bisa dirancang bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga untuk membantu mempertahankan nilai-nilai dasar.

Pada akhirnya, meski AI tidak peduli apakah manusia bersikap sopan atau tidak, manusia tetap sebaiknya peduli. Sopan santun adalah latihan karakter, dan dalam era interaksi digital yang semakin luas, mempertahankan kebiasaan baik menjadi penting agar manusia tetap menjadi pusat dari segala perkembangan teknologi. Bukan karena AI perlu dihormati, tetapi karena diri kita yang perlu dijaga.

Dalam dunia yang semakin dipenuhi interaksi dengan mesin, mulai dari chatbot layanan pelanggan hingga asisten virtual seperti Siri dan Alexa, muncul satu pertanyaan yang terdengar sepele namun menyimpan makna dalam: apakah kita perlu bersikap sopan kepada AI? Secara teknis, jawaban singkatnya adalah tidak. AI tidak memiliki perasaan. Ia tidak tersinggung jika kita tidak mengucapkan “tolong” atau “terima kasih.” Namun seperti dikemukakan dalam laporan reflektif dari The Wall Street Journal, meskipun sopan santun tidak mengubah hasil teknis dalam interaksi dengan mesin, kebiasaan tersebut tetap layak dipertahankan—demi manusia itu sendiri.

Bagi kebanyakan orang, berbicara kepada asisten virtual dengan gaya militer—misalnya “Matikan lampu!” atau “Setel alarm!”—terasa praktis dan efisien. Namun, kebiasaan tersebut juga menggeser cara kita berinteraksi dengan dunia secara lebih luas. Penelitian dari MIT Media Lab mengungkap bahwa anak-anak yang terbiasa berbicara kepada robot tanpa sopan santun cenderung membawa pola tersebut ke interaksi dengan sesama manusia. Ini bukan sekadar fenomena generasi muda, tapi sinyal bahwa kebiasaan membentuk karakter.

Mengucapkan “tolong” dan “terima kasih” kepada AI, meski terdengar konyol, adalah upaya mempertahankan nilai-nilai sopan santun di tengah teknologi yang impersonal. Seperti dijelaskan dalam laporan Scientific American, sopan santun tidak hanya berfungsi sebagai norma sosial, tetapi juga menciptakan kerangka psikologis yang memperkuat empati, pengendalian diri, dan kesadaran sosial. Jika kebiasaan tersebut diabaikan, risiko yang dihadapi bukanlah rusaknya hubungan manusia-dan-mesin, melainkan menurunnya kualitas hubungan antarmanusia.

Ada pula dimensi energi dan lingkungan yang sempat menjadi sorotan. Setiap kata tambahan yang kita ucapkan kepada chatbot memang menambah beban pemrosesan data. Dalam sistem AI berbasis cloud seperti ChatGPT atau Google Gemini, menambahkan kata-kata “please” dan “thank you” berarti mengirim lebih banyak data ke server, yang berarti menggunakan sedikit lebih banyak listrik. Menurut analisis dari Bloomberg Green, bahkan perintah suara sederhana bisa menggunakan listrik hingga sepuluh kali lebih besar dibandingkan perintah serupa yang diketik. Namun para pakar menyebut bahwa pengaruh ekologis dari kata-kata sopan tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan manfaat sosial dan psikologisnya.

“Sopan santun adalah latihan mikro dari kebajikan,” ujar Dr. Emily Bender, pakar linguistik komputasi dari University of Washington. “Ketika kita berlatih bersikap baik bahkan kepada sesuatu yang tidak hidup, kita memperkuat kecenderungan untuk bersikap baik kepada sesama manusia.” Dalam konteks ini, AI bukan sekadar alat, melainkan semacam cermin yang merefleksikan siapa kita sebenarnya—atau siapa yang sedang kita latih untuk menjadi.

Di sisi lain, beberapa perusahaan teknologi justru mulai mendorong pengguna untuk tetap bersikap sopan kepada sistem mereka. Amazon, misalnya, merilis fitur “Magic Word” untuk Alexa yang memberikan pujian atau respons positif ketika anak-anak menggunakan kata “tolong” atau “terima kasih.” Google Assistant juga telah mengintegrasikan sistem penguatan positif serupa. Tujuannya bukan karena AI akan tersinggung, tetapi untuk membantu menciptakan budaya yang lebih ramah dan empatik di era digital.

Namun tidak semua orang setuju dengan pendekatan ini. Sebagian kritikus, seperti yang ditulis dalam The Atlantic, menyatakan bahwa bersikap sopan kepada AI justru bisa menimbulkan kebingungan etis—karena memberi ilusi bahwa mesin memiliki kesadaran atau perasaan. Mereka khawatir, terlalu banyak antropomorfisme bisa membuat manusia kehilangan batas antara kenyataan dan fiksi. Namun para pendukung justru melihat sopan santun bukan sebagai bentuk penghormatan kepada mesin, melainkan sebagai latihan untuk manusia agar tidak kehilangan sensitivitas sosial.

Profesor Sherry Turkle dari MIT, yang telah lama meneliti hubungan manusia dan teknologi, menyatakan bahwa saat ini kita hidup dalam “era keintiman palsu.” Kita berbicara kepada benda mati dengan nada penuh emosi, bahkan menyebut mereka “teman digital.” Dalam bukunya Reclaiming Conversation, Turkle mengingatkan bahwa kemudahan teknologi bisa mengikis nilai-nilai percakapan yang tulus. Namun ia juga menekankan bahwa menggunakan momen singkat saat berbicara kepada AI untuk melatih kebaikan bisa menjadi bentuk resistensi terhadap desensitisasi emosional.

Di era di mana interaksi manusia semakin digantikan oleh algoritma, mempertahankan sopan santun terhadap AI adalah keputusan moral, bukan teknis. Ini bukan tentang bagaimana kita memperlakukan mesin, tetapi tentang siapa yang ingin kita latih untuk menjadi. Dan sebagaimana kita tahu, karakter bukan dibentuk oleh keputusan besar, tetapi oleh pilihan kecil yang kita ulang setiap hari—termasuk dalam cara kita mengucapkan, “Tolong jawab pertanyaan ini,” atau “Terima kasih atas bantuannya.”

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |