TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia atau AKSI, Asvi Warman Adam, menilai penggunaan istilah “sejarah resmi” dalam proyek penulisan ulang sejarah yang digagas Kementerian Kebudayaan tidak tepat. Asvi menyampaikan, pemerintah orde baru melalui Sekretariat Negara pernah merilis setidaknya dua sejarah resmi.
Sejarawan senior yang pernah bertugas pada Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN ini menyebut kedua buku sejarah itu ialah “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya” dan “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini adalah sejarah resmi pandangan pemerintah negara terhadap suatu peristiwa,” ucap Asvi usai rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Senin, 19 Mei 2025.
Menurut Asvi, sejarah resmi yang disusun pemerintah itu bertujuan untuk membangun citra positif sebuah rezim. Namun, penulisan sejarah resmi itu dianggapnya menghilangkan hal-hal yang tidak menguntungkan rezim itu sendiri. “Jadi kami menolak penggunaan istilah “sejarah resmi” yang digunakan dalam proyek ini,” kata Asvi.
Sementara itu, Ketua AKSI Marzuki Darusman menyebut revisi naskah sejarah yang tengah digencarkan pemerintah berimplikasi menciptakan tafsir tunggal terhadap sejarah. Marzuki mengatakan, sejarah bersifat multitafsir dan bersumber pada dinamika dan pandangan dan kehidupan rakyat.
Ia pun mengkhawatirkan jangka waktu revisi sejarah yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025 mendatang. “Maka sejarah itu akan sifatnya selektif, bias dan sekalipun melibatkan ratusan sejarawan, bahkan lebih dari itu, tidak akan bisa menghilangkan kesan bahwa sejarah ini ditulis untuk kepentingan pemerintah yang memerlukan legitimasi politik bagi pemerintahan,” ujar Marzuki.
Kementerian Kebudayaan tengah melakukan revisi naskah sejarah. Dalam keterangannya kepada awak media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin, 5 Mei 2025 lalu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan bahwa proses penyusunan buku sejarah Indonesia tersebut saat ini masih berlangsung dan dikerjakan oleh para sejarawan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
”Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan. Tahun ini (rencananya diluncurkan), saat 80 tahun Indonesia merdeka,” ujar Fadli Zon.
Rencana penulisan ulang sejarah ini meliputi awal lahirnya masyarakat Nusantara hingga pasca-Reformasi. Kementerian Kebudayaan menunjuk tiga sejarawan, yakni Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin, untuk menyusun Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia.
Adapun alasan utama revisi ini adalah menyelaraskan kembali pengetahuan sejarah dengan berbagai temuan baru dari disertasi, tesis, ataupun penelitian para sejarawan. Nantinya, hasil penulisan ulang ini dibukukan secara resmi melalui pendanaan dari Kementerian Kebudayaan, bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Buku sejarah ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 atau tepatnya pada HUT kemerdekaan ke-80 RI.
"Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan 'sejarah resmi' (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Buku ini akan ditulis sebanyak 10 (sepuluh) jilid oleh sejarawan Indonesia sendiri secara kolektif," demikian dikutip dari draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia.