Palu Godam Krisis Moneter 1998 Menjelang Reformasi

2 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Reformasi 1998 menjadi salah satu peristiwa sejarah paling penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Di balik lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa, terdapat rangkaian peristiwa tragis dan gejolak besar yang dipicu oleh krisis moneter.

Krisis ini bukan hanya mengguncang perekonomian nasional, tapi juga menggugah kesadaran kolektif rakyat untuk menuntut perubahan besar dalam tatanan politik, hukum, dan kehidupan sosial.

Krisis Moneter 1998

Krisis moneter mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 sebagai bagian dari badai ekonomi yang mengguncang Asia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari kisaran Rp 2.400 menjadi Rp 16.800 per dolar AS pada awal 1998. Nilai mata uang yang hancur lebur menyebabkan harga barang-barang pokok melonjak tajam. Inflasi meroket. Daya beli masyarakat merosot drastis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain, lebih dari 70 persen perusahaan besar dan kecil tumbang di pasar modal. Kredit macet menjangkiti perbankan nasional. Banyak perusahaan kolaps, terutama yang mengandalkan bahan baku impor dan utang luar negeri. Akibatnya, puluhan juta pekerja kehilangan pekerjaan. Tercatat lebih dari 20 juta orang menjadi pengangguran, menyebabkan pendapatan per kapita rakyat Indonesia pada 1998 turun drastis menjadi hanya 610 dolar AS.

Merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah Orde Baru diperparah oleh keluarnya investor asing dari Indonesia. Upaya pemerintah melepas nilai tukar rupiah ke mekanisme pasar tidak membuahkan hasil. Rupiah justru semakin tak terkendali, menciptakan ketidakstabilan ekonomi berkepanjangan.

Melansir Skripsi berjudul Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi, dan Kurs Rupiah/USD Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia (2013), pertumbuhan ekonomi pada 1998 mengalami minus 13 persen. Hal tersebut terjadi lantaran tahun awal penyesuaian kondisi krisis. 

Pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal 1997, yang melanda pasar valuta asing di Asia dan mempengaruhi pasar valas di tanah air. Besarnya dampak krisis moneter tersebut mengakibatkan lengsernya Presiden ke-2 RI Soeharto. 

Kala itu, tingkat kepercayaan terjun hingga ke level nol, yang berdampak pada stabilitas mata uang rupiah. Pada 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berada pada level Rp 4.850, lalu kandas menjadi Rp 17.000 pada Mei 1998. Hal tersebut membuat investasi menjadi lesu dan IHSG mengalami penurunan signifikan mencapai 398,04 poin. 

Tragedi Trisakti hingga Penjarahan

Dampak ekonomi yang meluas memicu ketegangan sosial dan kemarahan publik. Demonstrasi mahasiswa yang menuntut perubahan memuncak pada 12 Mei 1998. Ribuan mahasiswa Universitas Trisakti turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto mundur.

Namun, aksi damai itu berujung tragedi ketika aparat keamanan melepaskan tembakan. Empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie, tewas di dalam kampus. Tewasnya para mahasiswa memicu gelombang kemarahan rakyat ini dikenal sebagai Tragedi Trisakti.

Sehari kemudian, 13-15 Mei, kerusuhan meluas di Jakarta dan berbagai kota besar seperti Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang. Penjarahan, pembakaran, dan kekerasan terjadi hampir tanpa kendali.

Sentimen anti-Tionghoa yang telah lama terpendam turut memicu kekerasan rasial. Ratusan toko dan rumah milik warga keturunan Tionghoa dijarah dan dibakar. Bahkan, kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dilaporkan terjadi secara brutal. Tragedi Mall Klender dan Ciledug Plaza menjadi simbol kengerian, di mana ratusan orang tewas terpanggang dalam kobaran api.

Pemerintah terlihat lumpuh. Aparat keamanan tak mampu meredam kerusuhan. Rasa kepercayaan publik terhadap pemerintah benar-benar runtuh.

Aksi Massa dan Kejatuhan Soeharto

Pada 18 Mei 1998, Ketua DPR/MPR Harmoko secara terbuka mendesak Soeharto untuk mundur secara terhormat. Desakan ini memperjelas adanya perpecahan dalam tubuh elite politik dan militer. Soeharto pun mencoba mencari dukungan, termasuk memanggil sembilan tokoh Islam pada 19 Mei. Namun, langkah tersebut tak meredam kemarahan publik. Ribuan mahasiswa dan rakyat terus mengepung Gedung DPR/MPR, mendesak lengsernya Soeharto.

Akhirnya, pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Wakil Presiden B.J. Habibie diangkat menggantikannya. Lengsernya Soeharto menandai berakhirnya era Orde Baru dan membuka pintu bagi era baru yang kemudian disebut sebagai Era Reformasi.

“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998,” bunyi pidato Soeharto.

Myesha Fatina Rachman, Hendrik Khoirul Muhid, dan Muhammad Rafi Azhari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |