Pengamat: PPP Bisa Jadi Dinosaurus Politik Islam, Besar di Masa Lalu, Tapi Tenggelam di Era Baru

3 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Konflik kepemimpinan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali mencuat pasca Muktamar Ancol 2025. Dua kubu, Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim legitimasi. Kondisi ini memperparah situasi partai berlambang Ka’bah yang baru saja gagal menembus ambang batas parlemen pada Pemilu 2024.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif SCL Taktika Konsultan, Iqbal Themi, menilai PPP kini berada di ambang krisis eksistensial. “PPP dulu adalah rumah besar umat Islam, simbol persatuan di masa Orde Baru. Tapi hari ini, setelah seperempat abad reformasi, PPP justru terpecah dan kehilangan kursi di Senayan. Jika tak segera berbenah, PPP bisa menjadi dinosaurus politik Islam—besar di masa lalu, tapi tenggelam di era baru,” ujar Iqbal dalam acara diskusi publik Aktual Forum bertema “Dualisme Kepengurusan PPP Pasca Muktamar Ancol 2025” di Tebet, Sabtu (4/10).

Menurut Iqbal, dualisme kepemimpinan antara kubu Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto bukan sekadar konflik biasa, tetapi cerminan krisis struktural yang telah lama membayangi PPP. “Partai yang dulu mampu bertahan di bawah represi politik Orde Baru, kini justru rapuh di era demokrasi. Ini ironi sejarah. Jika terus disandera dualisme, energi PPP akan habis untuk urusan administrative politics—politik yang direduksi menjadi perebutan legalitas birokratis, dan bukan tidak mungkin pada akhirnya hanya tinggal sebagai fosil demokrasi: eksis dalam dokumen negara, tapi kehilangan arah di mata umat,” ujarnya.

Secara elektoral, dukungan terhadap PPP terus menurun: dari 10,7 persen suara pada 1999 menjadi hanya 3,87 persen pada 2024. “Penurunan ini bukan sekadar tren angka, tetapi sinyal hilangnya kepercayaan umat,” tambahnya. Iqbal menilai, basis sosial PPP kini telah terdistribusi ke partai lain—NU ke PKB, Muhammadiyah ke PAN, kelas menengah Muslim ke PKS, sementara pemilih Islam yang lebih cair cenderung berpihak pada partai-partai nasionalis.

Ia menyebut krisis ini sebagai bentuk triple delegitimation: kehilangan legitimasi elektoral, legitimasi institusional, dan legitimasi performa. Meski begitu, Iqbal optimistis kebangkitan masih mungkin terjadi jika PPP berani melakukan islah secara serius. “Jalan satu-satunya adalah kembali ke khittah sebagai rumah besar umat Islam. Kalau ini dilakukan dengan semangat persatuan dan menjadi kesadaran kolektif, PPP masih punya peluang untuk kembali ke Senayan pada 2029,” pungkasnya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |