Gubernur Jakarta Pramono Anung saat memberikan keterangan di Balai Kota Jakarta, Rabu (24/9/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyatakan pihaknya masih menunggu persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk dapat menjalankan Jakarta Collaboration Fund. Pramono menjelaskan, Jakarta Fund disiapkan guna menambah sumber pendapatan daerah setelah Dana Bagi Hasil (DBH) DKI Jakarta dari pemerintah pusat dipangkas hingga Rp15 triliun.
“Untuk itu kami memerlukan persetujuan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenkeu dan Kemendagri,” jelas Pramono di Balai Kota Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Sebelumnya pada saat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyambangi Balai Kota pada Selasa (7/10), ia telah menyatakan dukungannya terhadap Jakarta Fund.
Menurut Pramono, Jakarta Collaboration Fund tidak hanya diperuntukkan bagi investasi di Ibu Kota, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk daerah lain.
Dia menekankan, pemangkasan DBH harus dijadikan momentum untuk mencari sumber pembiayaan kreatif atau "Alternative financing".
Selain Jakarta Fund, Pemprov juga menyiapkan skema lain seperti Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SP3L).
“Alternative financing itu akan menjadi salah satu kata kunci untuk membangun Jakarta. Banyak instrumen yang selama ini belum terkelola secara baik akan kita gunakan,” ujarnya.
Meski APBD Jakarta menurun, Pramono menegaskan program prioritas masyarakat seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), dan program pemutihan ijazah tidak akan dipangkas meski ruang fiskal semakin terbatas.
Sebelumnya, Jakarta Collaboration Fund merupakan program yang direncanakan oleh pasangan Pramo Anung-Rano Karno sejak kampanye Pilkada Jakarta 2024.
Pramono menjelaskan Jakarta Collaboration Fund adalah gagasan atau inisiatif pembiayaan inovatif yang dirancang oleh Pemprov DKI Jakarta agar kota bisa mengurangi ketergantungan pada sumber dana tradisional (pajak, retribusi, dividen, dana transfer pusat) untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.
Itu artinya, berbagai pihak bisa turut serta mendanai pembangunan Jakarta. Pendekatan ini juga membuka ruang kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam pembiayaan proyek strategis di ibu kota.
sumber : ANTARA