Worldcoin Beri Imbalan Buat Scan Retina, Ini Dampak dan Risikonya

13 hours ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Digital memutuskan untuk membekukan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) milik layanan Worldcoin dan WorldID pada Minggu, 4 Mei 2025 pasca heboh scan retina.

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar, menyatakan bahwa keputusan diambil atas laporan masyarakat terkait aktivitas kedua layanan tersebut. Sebab aktivitas scan retina dengan iming-iming uang ratusan ribu memilik banyak dampak dan risiko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari Trustcloud.tech, data biometrik bersifat unik dan tidak dapat diubah, sehingga menjadi target yang ideal bagi pelaku kejahatan dunia maya. Jika data ini jatuh ke tangan yang salah, dapat digunakan untuk menyamar sebagai seseorang dan melakukan berbagai kejahatan. Misalnya, dengan menggunakan data tersebut, penjahat dapat mencuri identitas finansial korban, mengakses rekening bank, kartu kredit, atau bahkan mengajukan pinjaman atas nama korban. 

Selain itu, data biometrik juga dapat disalahgunakan dalam penipuan pemilu, memberikan suara secara curang atau terlibat dalam aktivitas yang memerlukan verifikasi identitas. Tak hanya itu, pencurian data biometrik, seperti sidik jari atau peta wajah, dapat membuka peluang bagi kejahatan fisik, seperti akses ke area terlarang atau membantu penjahat menyamar sebagai korban untuk melakukan tindak kriminal.

Kasus Clearview Kumpulkan Wajah dari Media Sosial Tanpa Izin

Seperti Worldcoin, sebelumnya muncul kasus lain yang menyoroti persoalan biometrik serta praktik pengumpulan dan penjualan data pribadi yang diperoleh dari internet, yang kemudian memicu perdebatan etis dan hukum pada 2020.  

Clearview AI, sebuah perusahaan asal New York, diketahui secara diam-diam mengumpulkan miliaran gambar wajah dari media sosial dan situs web lainnya tanpa persetujuan atau sepengetahuan pemiliknya. Kumpulan data tersebut kemudian ditawarkan kepada berbagai pihak, termasuk perusahaan swasta, aparat kepolisian, dan lembaga pemerintah, untuk digunakan dalam pelacakan individu melalui teknologi pengenalan wajah.

Teknologi ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait privasi dan perlindungan data, terutama bagi kelompok rentan seperti korban kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, imigran tanpa dokumen, serta komunitas kulit berwarna, karena teknologi tersebut seringkali menunjukkan bias yang berbahaya dan perlu ditangani secara bertanggung jawab.

Tak hanya itu, Clearview juga menjual akses ke aplikasi yang memungkinkan pengguna mengunggah foto untuk mendapatkan hasil pencocokan instan, yang semakin memperparah persoalan perdagangan data biometrik secara tidak terkendali.

Tanggapan Pakar Siber Hukum UI

Pakar hukum siber dari Universitas Indonesia (UI) Edmon Makarim, turut menanggapi kontroversi yang melibatkan aplikasi World App. Ia menyatakan bahwa data retina yang dikumpulkan memiliki potensi besar untuk disalahgunakan. "Sebaiknya mengikuti langkah beberapa negara lain yang telah melarangnya, tentu akan lebih aman," kata Edmon melalui pesan kepada Tempo pada Selasa, 6 Mei 2025.

Ia menegaskan bahwa data biometrik merupakan milik pribadi yang harus dilindungi, dan jika tidak ada kebutuhan yang jelas, maka sebaiknya tidak diminta. Edmon juga menambahkan bahwa proses pengumpulan, penyimpanan, dan pemanfaatan data biometrik harus dilakukan dengan sistem keamanan yang ketat, bahkan lebih tinggi dibandingkan perlindungan terhadap data pribadi pada umumnya.

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), di mana Pasal 4 ayat (2) menetapkan bahwa data biometrik termasuk dalam kategori data pribadi yang bersifat spesifik dan memerlukan perlindungan ekstra.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |