Dugaan Kejahatan Kemanusiaan yang Menjerat Rodrigo Duterte

6 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap setelah mendarat di bandara internasional Manila pada Selasa, 11 Maret 2025. Polisi menangkap Duterte atas surat perintah International Criminal Court (ICC). Duterte yang baru pulang dari Hong Kong kemudian diterbangkan ke Den Haag, Belanda, pada Selasa malam, 11 Maret 2025. 

ICC menuding, Duterte telah kejahatan kemanusiaan yang serius. Dugaan ini berawal ketika Duterte mengambil tindakan keras antinarkoba selama dia menjabat. Kepolisian Filipina mengatakan perang narkoba yang terjadi di masa pemerintahan Duterte menewaskan sedikitnya 6.200 orang yang diduga merupakan pelanggar narkoba, baik pengedar maupun pengguna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, kelompok aktivis hak asasi manusia menyatakan bila polisi Filipina dan pasukan pembela hukum di bawah arahan mereka telah membunuh tersangka narkoba tak bersenjata dalam skala besar selama Duterte memimpin. Jaksa ICC memperkirakan jumlah korban tewas telah mencapai 12.000 hingga 30.000 orang Filipina antara Juli 2016 hingga Maret 2019 karena dibunuh polisi maupun individu tidak dikenal.

Pihak berwenang Filipina selalu membantah tuduhan adanya pembunuhan di luar hukum. Para pelanggar narkoba dinyatakan tewas dalam baku tembak. Polisi menolak tuduhan terkait pembunuhan sistematis, rekayasa tempat kejadian perkara, dan laporan kejadian yang dimanipulasi.

Pada September 2021, ICC telah menyetujui untuk melakukan penyelidikan formal terhadap kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dipimpin Duterte. Namun, ICC harus menangguhkan penyelidikannya pada November 2021 atas permintaan Manila yang mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penyelidikan sendiri.

Pada Januari 2023, pengadilan mengungkapkan bahwa pihaknya tidak yakin bahwa Filipina telah melakukan investigasi dengan relevan dan jaksa melanjutkan penyelidikan mereka. Pihak pengadilan lantas menolak banding terhadap keputusan pemerintahan Filipina.

Duterte juga secara sepihak menarik Filipina dari perjanjian ICC pada 2019 saat lembaga tersebut mulai menyelidiki terkait keterlibatannya pada tuduhan pembunuhan di luar hukum yang sistematis. Duterte secara tegas menolak tuduhan ICC terhadap dirinya.

Seperti diketahui, sebelum terpilih menjadi Presiden Filipina, Duterte telah dikenal sebagai “The Punisher” dan “Duterte Harry” karena sering melakukan kampanye dengan melibatkan kekerasan terhadap para pelanggar narkoba, tepatnya saat masih menjabat sebagai Wali Kota Davao. Duterte berjanji untuk menerapkan gaya penegakan hukum dan ketertiban tanpa pandang bulu ke seluruh Filipina. Retorikanya tersebut mendapat sambutan positif sehingga berhasil mendapatkan kursi kepresidenan dengan kekuasan 40% suara dalam Pemilu 2016 di Filipina.

“Lupakan hukum tentang hak asasi manusia. Jika saya berhasil masuk istana presiden, maka saya akan melakukan apa yang saya lakukan sebagai wali kota. Kalian pengedar narkoba, perampok, dan orang-orang yang tidak melakukan apa-apa, lebih baik kalian keluar karena saya akan membunuh kalian,” ujar Duterte selama masa kampanye.

Salsabilla Azzahra dan Ida Rosdalina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Mengapa Target Penerimaan Pajak Tidak Tercapai

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |