Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator Eco-Fitrah, Penikmat Seni, Keluarga ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika The Rolling Stones membawakan lagu "As Tears Go By" di pertengahan 1960-an, banyak yang melihatnya sebagai balada melankolis kesepian,nostalgia,dan kerapuhan manusia. Namun bait yang paling menggigit justru kalimat sederhana :
“My riches can’t buy everything.” Sebuah pengakuan bahwa kekayaan materi-betapapun besar-tidak mampu menebus kebutuhan terdalam manusia.
Kalimat ini terasa semakin relevan di tengah dunia modern. Globalisasi, pasar modal, dan logika konsumtif sering menjanjikan bahwa harta adalah kunci kebahagiaan. Tapi apakah benar demikian? Ketika manusia hanya mengejar uang,seringkali yang tersisa hanyalah kehampaan, bahkan air mata.
Untuk menggali makna lebih jauh, mari kita sandingkan pesan lagu ini dengan dua pemikir besar dari jalur berbeda: Michael Hudson, ekonom kritis asal Amerika yang terkenal dengan buku 'Junk Economics,' dan Abul A'la al Maududi, ulama sekaligus pemikir ekonomi Islam dari Pakistan yang melahirkan karya monumental "The Economic Problem of Man and Its Islamic Solution" dan "First Principle Islamic Economic".
Keduanya, meskipun berasal dari dunia berbeda, sama-sama mengkritik peradaban yang menjadikan kekayaan sebagai ilusi. Dari mereka, kita bisa belajar bagaimana memahami pesan "As Tears Go By" bukan hanya sebagai lagu cinta yang muram, tapi juga sebagai refleksi sosial-ekonomi dan spiritual.
Michael Hudson: Kekayaan Finansial sebagai Ilusi
Michael Hudson adalah ekonom yang berangkat dari pengalaman langsung di jantung kapitalisme-Wall Street. Ia melihat bagaimana sistem keuangan modern menciptakan kekayaan semu melalui rente, utang, dan spekulasi, bukan dari produktivitas nyata. Dalam bukunya "J Is for Junk Economics", Hudson menyebut banyak istilah ekonomi modern hanyalah kamuflase untuk menutupi eksploitasi.
Bagi Hudson, jeratan utang adalah bentuk perbudakan modern. Negara-negara berkembang terjebak utang luar negeri, sementara rakyat dipaksa membayar lewat pajak dan pemangkasan subsidi. Individu pun sama: kartu kredit, cicilan rumah, dan biaya pendidikan menciptakan generasi yang hidup dalam tekanan finansial.
Di sinilah resonansi dengan “As Tears Go By”, manusia modern sering kali “kaya di atas kertas” tetapi miskin dalam makna hidup. Kekayaan finansial tidak otomatis menebus rasa sepi, tidak menciptakan kebahagiaan, apalagi keadilan. Kekayaan ala Wall Street justru membuat masyarakat rapuh-bagaikan gedung megah dengan pondasi rapuh.
Hudson ingin menegaskan bahwa jika ekonomi hanya bergerak pada sirkuit utang dan rente, maka peradaban sedang menuju kehancuran. "Riches can’t buy everything"--apalagi ketika “riches” itu hanyalah angka digital di neraca bank.
Al-Maududi: Harta sebagai Amanah, Bukan Tujuan.
Abul A'la al-Maududi dalam karyanya, ia membangun fondasi ekonomi Islam yang berbeda dari kapitalisme Barat maupun sosialisme Marxian.
Menurut Maududi, harta bukanlah tujuan, melainkan amanah. Ia menolak paham kapitalisme yang menuhankan akumulasi, dan sekaligus mengkritik sosialisme yang meniadakan hak milik pribadi.Islam, kata Maududi, menempatkan harta dalam posisi tengah,dimana: Milik pribadi diakui, tapi terikat hukum syariat.
Negara wajib menjaga distribusi dan melarang monopoli
Harta harus berputar secara produktif, bukan mengendap dalam spekulasi.
Riba (bunga utang) haram, karena memperbudak manusia dan merusak keadilan.
Maududi melihat krisis ekonomi modern bersumber dari hilangnya nilai tauhid dalam pengelolaan harta. Ketika manusia menjadikan harta sebagai tujuan hidup, maka ia akan kehilangan makna, dan akhirnya meneteskan air mata dalam kehampaan.
Di titik inilah pesan "As Tears Go By" menemukan muaranya dalam perspektif fitrah: kekayaan tanpa nilai Ilahiyah hanyalah fatamorgana.
Pertemuan Gagasan: Lagu, Hudson, dan Maududi
Jika kita sandingkan ketiganya, maka peta maknanya semakin jelas. Lagu "As Tears Go By": mengungkap kegelisahan personal-harta tak mampu membeli kebahagiaan.
Hudson: mengungkap kegelisahan struktural-harta dalam kapitalisme finansial hanyalah ilusi, yang akhirnya menciptakan penderitaan massal.
Al-Maududi: mengungkap solusi spiritual dan sosial--harta harus dipahami sebagai amanah dalam kerangka tauhid, agar tidak menjadi sumber kehampaan.
Artinya, air mata dalam lagu itu bisa dimaknai lebih luas. Bukan hanya air mata seorang individu yang kesepian di tengah pesta kekayaan, melainkan juga air mata bangsa-bangsa yang terjebak dalam jeratan utang, rakyat yang diperas oleh oligarki, dan generasi muda yang kehilangan masa depan karena ekonomi “junk” yang dikritik Hudson.
Krisis Global: Relevansi Hari Ini
Mari kita lihat kondisi sekarang. Dunia menghadapi kombinasi krisis: utang global yang menumpuk,ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga ketidakstabilan politik. Negara-negara berkembang terlilit utang IMF, Bank Dunia, dan lembaga perbankan sejenisnya; negara maju pun tidak lepas dari krisis utang domestik.
Sementara itu, segelintir elite global justru semakin kaya. Laporan Oxfam menunjukkan satu persen orang terkaya menguasai lebih banyak harta daripada miliaran penduduk dunia. Fenomena ini seolah mengulang kembali kalimat tadi: my riches can’t buy everything.
Hudson menyebut keadaan ini sebagai parasit keuangan: kekayaan menempel pada sistem produksi tanpa memberi kontribusi nyata. Al-Maududi akan menyebutnya sebagai penyimpangan fitrah: manusia menjadikan harta sebagai tuhan kecil, bukan amanah Allah.
Dalam situasi seperti ini, lagu sederhana dari era 1960-an seolah menjadi nubuat kultural: kekayaan yang dipuja tidak membawa keselamatan, bahkan bisa jadi sumber kehancuran.
Refleksi Spiritual: Apa yang Tak Bisa Dibeli?
Kalimat “my riches can’t buy everything” memancing pertanyaan mendasar: apa saja hal-hal yang tak bisa dibeli oleh harta?
Cinta dan kasih sayang -- harta bisa membeli perhatian semu, tapi bukan cinta tulus.
Makna hidup --kekayaan bisa membeli kenyamanan, tapi bukan tujuan eksistensi.
Keselamatan akhirat -- tidak ada tebusan bagi jiwa di hadapan Allah selain iman dan amal saleh.
Keadilan sosial -- kapitalisme bisa menciptakan segelintir kaya, tapi bukan masyarakat yang adil.
Kebahagiaan batin -- yang bersumber dari iman, bukan dari barang konsumsi.
Hudson menekankan aspek sosial: kekayaan tak bisa membeli stabilitas masyarakat. Al-Maududi menekankan aspek spiritual: kekayaan tak bisa membeli ridha Allah.
Jalan Fitrah
Lagu "As Tears Go By" dengan kalimat sederhana “my riches can’t buy everything” membuka ruang tafakur: betapa rapuhnya manusia yang menggantungkan makna pada harta. Michael Hudson mengingatkan bahwa sistem ekonomi global saat ini adalah junk, penuh ilusi dan jeratan utang. Al-Maududi menuntun kita agar kembali ke jalan fitrah, menjadikan harta sebagai amanah, bukan tujuan.
Air mata yang jatuh dalam lagu itu seharusnya menjadi air mata kesadaran. Bahwa di balik ilusi kekayaan, ada kebutuhan akan nilai-nilai fitrah: keadilan, kasih sayang, dan penghambaan kepada Allah. Inilah harta sejati yang tak bisa dibeli dengan emas dan dolar.
Mungkin itulah sebabnya, meski lahir dari dunia musik pop Barat, bait "my riches can’t buy everything" bisa kita bawa ke dalam diskursus ekonomi dan spiritual global. Lagu ini adalah pengingat, bahwa pada akhirnya, fitrah manusia lebih besar daripada tumpukan kekayaan.
Ungkapan ini terdengar seperti keluhan, tetapi sesungguhnya ia adalah sebuah renungan. Lagu ini menyingkap paradoks manusia modern: meski berlimpah harta, ada sesuatu yang tetap tak bisa dibeli--suara kebahagiaan, keindahan alami, dan rasa damai yang berasal dari fitrah.
Ekonomi modern sering memposisikan kekayaan sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, lirik tadi mengingatkan: kekayaan hanya bisa membeli barang, bukan makna.
Ia bisa membeli kasur empuk, tetapi tidak bisa membeli ketenangan tidur.
Ia bisa membeli kekuasaan, tetapi tidak bisa membeli rasa ridha.
Inilah benturan antara “serakahnomic” yang mengejar kepuasan tanpa batas, dengan rahmanomic, jalan syukur yang memahami keterbatasan manusia.
Jika kita tarik ke ranah sosial-politik, lirik ini juga terasa profetik. Dunia hari ini dihantui oligarki dan ketimpangan.
Orang-orang terkaya menguasai aset global, tapi mereka tetap “tak bisa membeli segalanya. Mereka bisa membeli media, tapi tidak bisa membeli kebenaran yang lahir dari hati nurani.
Mereka bisa membungkam suara rakyat, tapi tidak bisa membeli doa yang menembus langit. Mereka bisa mengendalikan pasar, tapi tidak bisa membeli keberkahan bumi yang Allah jaga.
Seperti tertulis dalam QS Al-Hadid: 20, dunia ini hanyalah permainan, hiasan, dan kesombongan dalam memperbanyak harta,namun akhirnya rapuh.
Fitrah manusia akan selalu kembali ke hal-hal sederhana: keluarga yang damai, alam yang hijau, dan generasi yang tumbuh penuh harapan.
Refleksi
Mick Jagger dan Keith Richards mungkin tidak bermaksud religius, tapi tanpa sadar mereka menyuarakan kelaparan spiritual. Dan Alquran memberi jawabannya:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d: 28)
“My riches can’t buy everything” adalah pengakuan universal bahwa ada wilayah kehidupan yang tak bisa disentuh uang.Itu wilayah fitrah,ruang suci di mana keberkahan, syukur, dan cinta menjadi mata uang sejati.
Dan disitulah cahaya peradaban lahir.