Penyidik Jampidsus Nyaris Pingsan Temukan Uang Rp 920 Miliar di Rumah Zarof Ricar

4 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus dugaan pemufakatan jahat dan gratifikasi yang menjerat mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar masih terus berjalan. Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah menyebut tim penyidik nyaris pingsan saat menemukan tumpukan uang tunai yang diperkirakan senilai Rp 920 miliar di rumah Zarof Ricar. Lantas bagaimana kah cerita dibalik penemuan uang tersebut?

Cerita mengenai penemuan tumpukan uang dengan jumlah hampir  Rp 1 triliun tersebut dibagikan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah pada Selasa, 20 Mei 2025. “Anak buah kami mau pingsan menemukan uang sebanyak itu,” kata Febrie dalam rapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Febrie mengatakan, penemuan uang Rp 920 miliar itu merupakan bukti penting dalam pengembangan perkara suap dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sedang didalami penyidik. Kala itu Zarof sedang diadili perkara suap dan gratifikasi pengurusan perkara di MA periode 2023-2024.

Saat menemukan uang tersebut, kata Febrie, penyidik harus bekerja sesuai prosedur meski sangat terkejut (syok). Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keamanan barang bukti. “Tidak boleh dihitung kecuali oleh orang bank supaya clear and clean ketika barang tersebut bisa dibawa,” ujarnya.

Hingga saat ini, kata dia, penyidik masih menelusuri asal-usul uang di rumah Zarof. Sementara dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, terdakwa dalam kasus suap dan gratifikasi perkara Gregorius Ronald Tannur itu menjelaskan bahwa sebagian besar kekayaannya berasal dari kegiatan bisnisnya sebagai perantara atau broker jual-beli lahan tambang.

Saat itu, ia sempat dicecar tentang uang tunai sebanyak Rp 920 miliar yang disita penyidik Kejaksaan Agung dari brankas rumahnya. Jaksa penuntut umum atau JPU mulanya bertanya kepada Zarof tentang asal-muasal uangnya. "Tadi terdakwa bilang, dari Rp 900-an (miliar) sekian itu Rp 200-an (miliar) dari penanganan perkara?" ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin, 19 Mei 2025.

"Iya, waktu itu saya asal sebut saja," jawab Zarof Ricar.

Jaksa kembali bertanya, "sisanya?"
"Itu dari bisnis saya," ujar Zarof.

Jaksa lagi-lagi mencecar, "komisi atau bagaimana?"

Zarof lantas mengiyakan bahwa sebagian uang itu berasal dari komisi bisnisnya. Adapun bisnis yang dimaksud adalah perantara atau broker transaksi pertambangan batubara, emas, nikel, hingga pasir laut. Dia mengklaim telah menerima fee bisnis tambang tersebut sejak 2012 hingga setelah pensiun dari Mahkamah Agung.

Ia juga menjelaskan bahwa lahan tambang tersebut salah satunya berada di Papua. Dari jual-beli tambang emas di Papua, ia mengaku pernah mendapatkan komisi senilai kurang lebih Rp10 miliar. Uang tersebut, kata dia, diperoleh dari seorang kontraktor dan pemilik lahan tambang di Papua. Setelah diterima, uang itu disimpan di dalam brankas dalam bentuk dolar Singapura.

Selain dari jual-beli lahan tambang emas, Zarof juga mengaku pernah mendapat komisi senilai 10 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp100 miliar (kurs saat itu Rp10 ribu) dari mempertemukan pemilik serta pembeli lahan tambang nikel dan batu bara. 

"Ini saat sebelum saya menjadi kepala badan, tetapi sudah di MA. Uangnya saya simpan saja di brankas rumah," kata dia dikutipd ari Antara, Senin, 19 Mei 2025. 

Ketika JPU menanyakan apakah memiliki background tambang atau tidak, Zarof  menampiknya. "Beberapa kali saya umroh, ketemu dengan pemain tambang," ujarnya. Dari pertemuan itu, mereka pun mengobrol tentang bisnis pertambangan. "Dan juga dari pergaulan saya, enggak tahu, orang percaya sama saya."

Zarof menuturkan bahwa ia lahir dan mengenyam pendidikan di Jakarta. Dia mengklaim, hal ini membuatnya banyak mengenal orang dari berbagai disiplin ilmu.

"Lalu terkait dengan komisi yang tadi terdakwa jelaskan, ini kan di penyitaan ditemukan USD (dolar Amerika Serikat), SGD (dolar Singapura), Euro, Hongkong. Itu bagian dari mana? Yang bisnis atau dari penanganan perkara?" cecar Jaksa. Zarof menjawab, uang bervaluta dolar Hongkong dan Euro itu sisa uang jalan-jalannya.

Jaksa kembali mencecar, "Artinya awal uangnya berasal dari mana? Dari apa berubah jadi Euro-Hongkong?"

"Dari bisnis itu. Saya tukar uangnya, saya ke Eropa, saya pakai Hongkong Eropa," kata Zarof. Begitu pula dengan uang dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat.

Seperti yang diketahui, Zarof merupakan terdakwa dalam kasus dugaan pemufakatan jahat dan gratifikasi. Dalam kasus itu, ia didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim uang senilai Rp5 miliar serta menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada 2012 hingga 2022.

Pemufakatan jahat itu diduga dilakukan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan suap kepada Hakim Ketua MA Soesilo dalam perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi pada 2024.

Atas perbuatannya, Zarof disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hammam Izzuddin dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |