Respons tak Setuju Warga Jabar di Sekitar Jakarta Atas Gerakan Donasi Rp1.000 KDM, 'Seperti Pungli'

2 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) menginisiasi Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), yang mengajak masyarakat berdonasi Rp1.000 setiap harinya. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang ditandatangani Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada 1 Oktober 2025.

Salah seorang warga Bekasi, Yolanda (27 tahun), mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, kebijakan itu dinilai memiliki potensi penyelewengan yang sangat besar. Apalagi, tidak ada kejelasan penggunaan uang yang dikumpulkan dari masyarakat itu.

"Karena kita enggak tahu itu ke mana sumbernya," kata perempuan yang biasa berjalan daging ayam itu kepada Republika, Senin (6/10/2025).

Menurut dia, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan warga. Ia menilai, mengatasi permasalahan sosial bukan merupakan kewajiban warga. Apalagi, warga juga sudah membayar berbagai jenis pajak kepada pemerintah untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada.

"Kenapa harus minta dari rakyat, enggak dari anggaran pemerintah?" kata dia.

Salah seorang lainnya, Farhan (33), juga tidak setuju untuk menyumbangkan uangnya kepada pemerintah. Menurut dia, kebijakan itu sama seperti pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh pemerintah.

"Enggak setuju, karena itu seperti pungli," ujar warga Bekasi itu.

Ia juga menyoroti penggunaan dana sumbangan yang ditarik dari masyarakat itu. Belum ada kejelasan mengenai tujuan dari sumbangan itu.

Farhan mengaku bakal setuju apabila uang itu digunakan untuk memberikan subsidi transportasi umum kepada masyarakat. Pasalnya, selama ini masyarakat masih harus membayar biaya transportasi umum yang tinggi.

"Kita kan sekarang malah disubsidi sama Jakarta untuk transportasi, pakai Transjabodetabek," kata dia.

Salah seorang warga lainnya, Dessy (36), mengaku tidak percaya sumbangan yang diberikan masyarakat itu akan digunakan dengan baik. Karena itu, ia mengaku tidak akan ikut serta dalam gerakan itu.

"Mending langsung ke yang membutuhkan, daripada lewat pemerintah. Lebih ke enggak percaya aja," kata warga Bogor itu.

Menurut dia, alih-alih meminta sumbangan, pemerintah seharusnya transparan terhadap anggaran yang ada selama ini. Pasalnya, selama ini warga sama sekali tidak pernah tahu penggunaan anggaran pemerintah.

Sementara itu, Ruby (27), menilai gerakan yang diinisiasi Pemprov Jabar itu memiliki esensi yang baik, yaitu menumbuhkan gotong royong masyarakat. Namun, ia menyangsikan Pemprov Jabar bakal transparan terkait penggunaan anggaran itu.

"Gue sih khawatir soal transparansinya. Uang Rp1.000 memang kecil, tapi kalau dikumpulin dari jutaan orang kan besar sekali," ujar warga Bogor itu.

Menurut dia, Dedi Mulyadi sebaiknya lebih dulu fokus mengoptimalkan penggunaan anggaran yang ada. Mengingat, masalah sosial bukan menjadi tanggung jawab masyarakat. 

"Jangan dibebankan ke masyarakat lagi, walaupun nominalnya kecil. Karena tugas utama pemerintah kan memang ngurus itu," kata perempuan yang bekerja sebagai pegawai swasta itu.

Ruby menambahkan, kebijakan itu juga tidak cukup hanya berbekal surat edaran (SE). Pasalnya, SE tidak kuat dijadikan dasar hukum untuk membuat kebijakan.

"Takutnya nanti jadi celah pungutan liar di lapangan, apalagi Jabar kan terkenalnya sama punglinya," kata dia.

Berdasarkan rilis Pemprov Jabar, pengumpulan, pengelolaan, penyaluran, pencatatan, dan pelaporan dana, dalam gerakan itu akan dilakukan oleh pengelola setempat yang bertanggung jawab penuh terhadap akuntabilitasnya. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk keperluan darurat di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Untuk memastikan transparansi, laporan penggunaan dana akan disampaikan kepada publik melalui aplikasi Sapawarga dan Portal Layanan Publik Pemprov Jabar, serta dapat diumumkan melalui akun media sosial masing-masing dengan mencantumkan tagar resmi #RereonganPoeIbu #nama instansi/sekolah/unsur masyarakat. Monitoring pelaksanaan gerakan dilakukan sesuai lingkup masing-masing.

Di lingkungan perangkat daerah, pengawasan dilakukan oleh kepala perangkat daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Di instansi pemerintah lainnya dan swasta, pengawasan berada di tangan pimpinan instansi. Sementara di sekolah, pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama. Sedangkan di lingkungan atau RT/RW, dilaksanakan oleh kepala desa/lurah, serta koordinasi keseluruhannya dilaksanakan oleh camat.

sumber : Antara

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |