TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyatakan, impor bawang putih tak perlu dibatasi dengan sistem kuota. Sebab, produk hortikultura ini tak masif diproduksi di dalam negeri.
Kendati Kementerian Pertanian (Kementan) beralasan importasi bawang putih perlu dibatasi sistem kuota karena ada produksi dalam negeri, Yeka menilai produksi dalam negeri itu harus dipahami secara konkret. “Memang diproduksi, ada bawang putih, tapi pertanyaan sederhana, di pasar ada enggak itu barang?” ujar Yeka saat ditemui Tempo di sebuah restoran di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu, 21 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yeka mencontohkan, bawang putih sembalun yang dibudidayakan petani di Nusa Tenggara Barat (NTB) justru tak sampai di pasar NTB. Bahkan menurut dia, di Pasar Sembalun pun tak ditemukan. Juga bawang putih di daerah sekitar Danau Toba. Ia menyebut produk hortikultura itu tak pernah sampai ke pasar Medan. “Di pasar sekitarnya saja itu bawangnya enggak ada,” tuturnya.
Itu berarti, ujar Yeka, produksi bawang putih hanya digunakan importir untuk memenuhi syarat wajib tanam yang diwajibkan pemerintah. Adapun barangnya di pasar, menurut dia, tidak ada. “Konsumen tidak mendapatkan yang namanya manfaat dari adanya bawang putih lokal,” ujar pria kelahiran Garut, Jawa Barat ini.
Yeka sebelumnya mengendus dugaan maladministrasi dalam pembagian rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) kepada 87 perusahaan baru. RIPH dan surat persetujuan impor (SPI), ujar dia, merupakan insentif kepada pelaku usaha yang mau bekerja benar. Bagi Yeka, aneh jika pelaku usaha yang telah lama berkecimpung di dunia impor bawang putih tiba-tiba tak memperoleh kuota.
Ia tak percaya jika seluruh pelaku usaha yang telah lama malang-melintang di bisnis bawang putih itu tak taat aturan. Menurut dia, banyak pelaku usaha baik-baik yang layak mendapatkan RIPH. “Saya khawatir perusahaan baru jadi cangkang. Tapi pemain yang sebenarnya orang lama. Ada aktivitas rente di sini,” ujar Yeka saat diwawancara Tempo melalui sambungan telekonferensi, Selasa, 25 Februari 2025.
Ihwal perusahaan-perusahaan seumur jagung yang menerima rekomendasi impor, ia mengatakan, ada dugaan mereka memiliki privilese. Ia mempertanyakan alasan pemerintah memberikan privilese itu kepada para pelaku usaha baru ini. “Itu pertanyaan yang dugaan maladministrasinya kental banget,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi, Plt. Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Muhammad Taufiq Ratule mengatakan akan meneruskan pertanyaan Tempo kepada koordinator humas. Alif Al Syahban, Humas Direktorat Jenderal Hortikultura, meminta Tempo mengirimkan surat resmi ke kementeriannya untuk memperoleh jawaban.
Tapi hingga tenggat yang ditentukan, jawaban tak kunjung tiba. Alif belakangan mengatakan, rata-rata pimpinannya sedang bertugas sebagai penanggung jawab swasembada pangan di setiap provinsi. "Mohon maaf belum ada tanggapan," ujarnya, Selasa, 4 Maret 2025.
Jawaban datang ketika Tempomencegat Taufiq usai rapat kerja Kementerian Pertanian bersama Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 11 Maret 2025. Sembari berjalan keluar gedung, ia mengklaim tak tahu ihwal status perusahaan penerima RIPH yang merupakan perusahaan baru. Ia mengatakan hanya bertugas memverifikasi rekomendasi impor sesuai pengajuan. “Kami enggak kenal,” ujarnya.
Adapun para importir lama, Taufiq mengatakan, pengajuan RIPH-nya ditolak karena tak memenuhi persyaratan. Ia mengklaim, kementeriannya akan menolak permohonan rekomendasi impor jika persyaratan tak lengkap. “Kami enggak melihat baru atau lama,” ujarnya.