Hari Ini 27 Tahun Lalu: Soeharto Lengser, Era Reformasi Dimulai

6 hours ago 7

Jakarta, CNN Indonesia --

Mei 1998 menjadi titik balik sejarah Indonesia. Setelah memimpin republik selama 32 tahun, Presiden ke-2 RI Soeharto akhirnya mundur. Sejak saat itu Orde Baru resmi tumbang digantikan era reformasi.

Soeharto mundur di tengah gejolak sosial, politik, dan ekonomi yang memantik amarah rakyat. Gejolak yang awalnya dipicu oleh krisis ekonomi dan berujung kemerosotan legitimasi politik rezim Orde Baru Soeharto.

Krisis bermula di Thailand. Pertengahan 1997, Thailand mengalami krisis keuangan akibat membengkaknya utang valuta asing sektor swasta, sementara dolar AS terus menguat. Neraca transaksi berjalan mereka defisit. Krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada Juli 1997, nilai tukar rupiah yang selama bertahun-tahun stabil antara Rp1.901 hingga Rp2.383 per dolar AS, tiba-tiba melemah tajam. Akibatnya, inflasi melonjak, harga-harga kebutuhan pokok melambung, dan barang-barang pokok mulai langka.

Soeharto yang telah lama berkuasa, mulai menyadari posisinya rapuh jika gagal menahan kemerosotan nilai rupiah.

Indonesia menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) pada Oktober 1997, sebesar US$43 miliar dengan salah satu syaratnya adalah menutup 16 bank swasta yang dianggap bermasalah.

Tapi resep IMF tak manjur.

Keputusan penutupan bank malah menambah kepanikan publik yang akhirnya melakukan penarikan dana secara besar-besaran dari bank. Inflasi tak bisa dikendalikan. Antrean panjang untuk sekadar membeli minyak goreng atau mengambil tabungan pun menjadi pemandangan sehari-hari.

Namun krisis ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab krisis tersebut. Ketegangan politik yang telah lama terpendam turut memanaskan suasana.

Perlawanan mahasiswa dan tragedi Trisakti

Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto selama 32 tahun dikenal membungkam oposisi, menjebloskan lawan politik ke penjara. Di tengah rezim otoriter itu, benih-benih perlawanan bawah tanah bergeliat, diinisiasi para pemuda dari kampus dan tokoh-tokoh oposisi nonpartai.

Organisasi-organisasi perlawanan yang awalnya bergerak di bawah tanah, mulai memberanikan diri muncul ke permukaan. Demonstrasi tak lagi tabu digelar.

Indonesianis asal Australia, Max Lane, dalam karyanya Unfinished Nation mencatat sejak Pemilu Mei 1997 hingga akhir tahun itu, tercatat 110 aksi protes mahasiswa. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Aksi-aksi protes, yang saat itu disebut sebagai 'mimbar bebas,' menyuarakan kritik terhadap kekerasan militer, dwifungsi ABRI, matinya parlemen, hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebar di berbagai lembaga negara. Isu reformasi semakin mengemuka.

Memasuki awal 1998, jumlah demonstrasi mahasiswa semakin tinggi. Tercatat 850 aksi dari Januari hingga Mei, dengan satu tuntutan utama, yakni lengsernya Soeharto. Bentrokan dengan militer terjadi di banyak kota, termasuk Solo, Yogyakarta, dan Medan.

Pada 2 Mei 1998, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, ribuan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan.

Demo besar 2 Mei bereskalasi jadi rangkaian demo yang kian besar dan meluas.

Pada 4 Mei, demonstrasi mahasiswa pecah di Medan, Bandung, Yogyakarta yang kemudian berujung kerusuhan dan bentrok dengan aparat. Keesokan hari terjadi kerusuhan di Medan yang berawal dari demonstrasi.

Titik didih kemarahan terjadi pada 12 Mei, ketika empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat keamanan yang mengawal unjuk rasa damai mahasiswa di halaman kampus tersebut.

Mereka yang menjadi martir reformasi adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie.

Suasana mencekam di Indonesia. Sementara Presiden Soeharto pergi menghadiri KTT G-15 Kairo di Mesir sejak 9 Mei 1998.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut kunjungan itu menjadi yang terakhir bagi Soeharto sebagai Presiden RI. Saat itu, Yusril adalah staf Sekretariat Negara sekaligus penulis pidato untuk Soeharto.

Kerusuhan Mei dan kekerasan etnis

Kerusuhan meletus di Jakarta dan daerah-daerah lain, 13 Mei 1998. Massa di Jakarta merangsek pertokoan, kantor, bank, melakukan penjarahan dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.

Jakarta berubah menjadi kota yang penuh kekacauan. Asap hitam membubung dari toko-toko yang dijarah dan dibakar.

Kerusuhan menyapu 13 pasar, 40 pusat perbelanjaan, ribuan toko, serta tempat ibadah. Tak kurang dari 65 kantor bank dihancurkan, ribuan kendaraan dibakar, dan korban jiwa berjatuhan.

Sentimen etnis menyeruak. Warga etnis Tionghoa jadi sasaran amuk massa. Tak sedikit dianiaya hingga tewas, bahkan jadi korban kekerasan seksual.

Yusril menjelaskan pihaknya sempat memberikan pengarahan kepada aparat militer TNI (saat itu ABRI) agar menghindari jatuhnya korban jiwa.

"Ketika itu kami briefing TNI bahwa harus hati-hati betul, jangan sampai ada korban. Sebab kalau ada korban seperti tertembaknya Arif Rahman Hakim tahun 1966 di depan Istana, bisa memicu kerusuhan luas. Penembakan Arif Rahman saat itu punya andil dalam rangkaian peristiwa yang membuat Sukarno mundur," ujar Yusril kepada CNN Indonesia, Rabu malam (20/5/2015).


Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |