Kisah Tiga Perempuan: Alam, Toleransi, dan Pendidikan Layak

11 hours ago 12

INFO NASIONAL – Ayu Kartika Dewi ingat betul ketika seorang teman menanyakan purpose atau tujuan hidup yang dimilikinya. Co-founder Toleransi.id, Sabang Merauke, dan Perempuan Gagal ini mengaku tidak bisa menjawabnya. Tetapi ketika dia ditanya apa yang bisa membuatnya marah, dengan lantang dia akan menjawab: intoleransi.

Ayu pun menyadari jawaban dari hidup dia adalah menjadi jawaban atas pertanyaan itu. “Hidup saya, saya tujukan untuk membantu hak-hak yang saya cintai atau membuat hal-hal yang bikin saya marah tidak ada lagi,” kata Staf Khusus Presiden di Bidang Sosial tahun 2019 – 2024 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika dia marah karena intoleransi diapun memilih membuat Toleransi.Id. “Saya bikin Sabang Merauke, saya bantu Indika Foundation, dan saya bantu presiden pun terkait topik intoleransi.”

Menurut perempuan kelahiran 27 April 1983 itu, semua yang dia kerjakan awalnya dari hati. “Dan saya percaya kalau kita kerjakan dari hati, ‘api’nya akan ada terus. Itu kenapa saya bikin dan bergerak di organisasi-organisasi sosial,” kata Ayu yang juga pernah menjadi Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2015 – 2017. 

Gerakan Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali (Sabang Merauke) merupakan program pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia untuk menanamkan nilai toleransi, pendidikan, dan ke-Indonesiaan. Gerakan ini hadir ketika Ayu resah melihat permasalahan sosial yang terjadi di Desa Papaloang, Maluku Utara, tempat Ayu mengikuti program Indonesia Mengajar. 

Kerusuhan antar dua kelompok agama di Ambon pada 1999 nyatanya masih menyisakan traumatik pada anak didiknya. Padahal saat Ayu berada di Maluku Utara, keadaan di Ambon sudah damai.  Jarak dari Maluku Utara ke Ambon pun cukup jauh. 

Ketakutan pada muridnya itu membuat Ayu menyadari keberagaman Indonesia merupakan kekayaan tersendiri. Program Sabang Merauke yang didirikan sekitar tahun 2010 diharapkan dapat menggelorakan nilai keberagaman, toleransi, hingga ilmu pengetahuan antar pelajar di Indonesia. 

Mereka ditugaskan untuk menyatu bersama keluarga dan juga berinteraksi dengan teman yang beragam. Setelah selesai, anak-anak pelajar SMP itu kembali ke masing-masing daerahnya dan diberikan tugas sebagai duta perdamaian di daerah asalnya. 

Hingga saat ini, sudah ribuan pelajar berhasil dia kirimkan ke berbagai daerah guna merajut nilai keberagaman dan toleransi. Dia pun mendapatkan fakta, intoleransi di Indonesia memang masih ada. 

Isu konservatif dan semakin menggeliatnya intoleransi yang terjadi pada anak muda membuat Ayu memilih mendirikan Milenial Islami yang memanfaatkan media sosial untuk menggaungkan Islam moderat. Ayu pun gigih mencetak pemuda yang berpikir kritis dan saling menghargai. 

Ayu Kartika Dewi. Dok.instagram ayukartikadewi

Bicara mengenai anak muda dan potensinya untuk mendorong toleransi di Indonesia, Ayu juga diketahui sempat menjadi mentor dalam program yang diinisiasi Unilever Indonesia yaitu Every U Does Good Heroes. Dalam program ini Ayu menjadi mentor untuk gerakan perdamaian umat beragama dari Yayasan Mimpi Besar Indonesia dan Young Interfaith Peacemaker Community, gerakan untuk menghilangkan stigma bagi mantan warga binaan dari Terpandu, serta program Kartu Berembug dari Bastra.id sebagai media permainan kartu untuk mengajarkan negosiasi akan nilai-nilai toleransi bagi siswa SMP dan SMA di Banten. 

Semua usahanya itu merupakan upaya Ayu untuk memberikan perhatian kepada dunia pendidikan. Terjadinya permasalahan sosial, menurut Ayu, merupakan implikasi terjadinya ketimpangan pendidikan di Indonesia. Permasalahan itu pula yang digencarkan Ayu hingga saat ini. 

Masa depan pendidikan Indonesia juga menjadi perhatian Amelia Nugrahaningrum. Amelia membangun Yayasan Genau Indonesia Hijau untuk konservasi hutan melalui pariwisata berkelanjutan, pendidikan, dan pemberdayaan sosial. Amel ingin menjadikan hutan lebih dari sekedar paru-paru dunia, namun juga sumber kekayaan pangan yang sehat, murah, dan ramah lingkungan.

Pendidikan yang ditawarkan oleh Amelia adalah pendidikan lingkungan hidup. “Ini merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengajak masyarakat agar mencintai dan peduli terhadap lingkungan sekitar.”

Genau Indonesia Hijau memiliki salah satu program yakni, “Ramban Rimba”.  Sejumlah inisiatif dilakukan Amel di Hutan Petungkriyono, Jawa Tengah, yaitu: (1) Mendekatkan hutan pada anak-anak usia sekolah dan memberikan pengetahuan tentang tanaman pangan hutan melalui edukasi ramban (2) Mengadakan wisata jelajah alam berkelanjutan, dan (3) Melatih warga sekitar untuk meramban dengan cara yang ramah lingkungan. Atas inisiatifnya, Amelia terpilih sebagai salah satu Every U Does Good Heroes pada tahun 2022. Program ini digagas oleh Unilever Indonesia untuk mencari anak muda yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam program tersebut, Amelia menerima micro grant serta pendampingan dari mentor berpengalaman untuk menjalankan programnya.

Genau Indonesia memang menawarkan paket pendidikan lingkungan hidup yang langsung disampaikan di alam Petungkriyono. Program ini dapat diikuti oleh anak-anak, remaja, dan dewasa. Proses pembelajaran program ini disampaikan dengan cara yang menyenangkan melalui kursus singkat dan workshop. Peserta program tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang alam dan lingkungan, tetapi juga mendapatkan pengalaman dan kebahagiaan.

Misalnya saja program biomonitoring: sungai dan biota. Melalui program ini peserta dapat merasakan kesegaran air sungai dan bersantai. Peserta juga diajak belajar menilai Sungai yang sehat melalui keanekaragaman biota air. 

Sementara dalam program hutan pangan, Amelia ingin berbagi pengetahuan tentang budaya mencari makan dan keanekaragaman tumbuhan liar yang dapat dimakan dari Hutan Petungkriyono. Edukasi ini akan merangsang peserta untuk belajar tentang makanan sehat, makanan yang ramah bagi iklim Indonesia, dan menyadari fungsi hutan sebagai supermarket raksasa bagi kehidupan manusia.

Terdapat beberapa program lainnya yang ditawarkan Amelia di Genau Indonesia. Amelia, yang juga meneliti capung itu pun pada 29 Juli 2024 terpilih menjadi salah satu peserta Women Earth Alliance Grassroots Accelerator 2024 bersama dengan 23 pemimpin perempuan yang bergerak untuk lingkungan bumi yang lebih baik. “Saya mendapatkan banyak pengetahuan terkait mengasah jiwa kepemimpinan perempuan. Lewat kurikulum yang terstruktur, materi dari program ini menjadi mudah untuk diikuti”

“Rasa-rasanya aku selalu percaya bahwa belajar itu sepanjang hayat. Jika sudah lelah belajar, mungkin sudah lelah juga menjalani hidup. Semoga dengan kesempatan belajar yang diberikan, semoga dapat membantu @genauindonesia bertumbuh di jalan yang baik sehingga dapat lebih bermanfaat,” tulisnya dalam media sosial. 

Sementara itu, kepedulian memberikan pendidikan yang layak juga dilakukan Saur Marlina Manurung, atau lebih dikenal dengan Butet Manurung. Perempuan kelahiran Jakarta 21 Februari 1972 ini memberikan perhatian besar bagi pendidikan masyarakat pedalaman. Kiprahnya sudah cukup lama, dia telah mendirikan Sokola Institute sejak tahun 2003. 

Butet manurung. ANTARA/Teresia May

Sokola Institute merupakan organisasi pertama di Indonesia yang berfokus pada pendidikan bagi masyarakat adat dan kelompok terpinggirkan lainnya di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh lima aktivis, termasuk Butet Manurung, yang awalnya bekerja dengan Orang Rimba di Jambi, Sumatera. 

Orang Rimba menurut dia juga membutuhkan pendidikan yang layak. Pendidikan yang diajarkan kepada masyarakat Suku Rimba diyakini dapat mengatasi masalah terutama di saat masyarakat Rimba berhadapan dengan masyarakat luar. Melalui pendidikan meskipun sebatas membaca dan menulis, masyarakat Suku Rimba dapat setahap lebih maju dan tidak lagi merasa dirugikan. 

Tidak mudah bagi Butet Manurung dan teman-teman untuk memberikan pendidikan yang layak bagi masyarakat Rimba. Karena dianggap sebagai orang luar, mereka kerap mendapatkan penolakan dan pengusiran. 

Melalui pendekatan budaya setempat, perlahan Butet dan rekan-rekannya pun perlahan mulai diterima. Hingga suatu ketika, tiga orang anak kecil menghampirinya untuk belajar angka dan huruf. Sejak saat itu, masyarakat Suku Rimba menerima Butet Manurung untuk memberikan pendidikan yang layak bagi mereka. 

Kini, Sokola Institute beroperasi di 11 provinsi di Indonesia. Mereka mengembangkan kurikulum yang berakar pada fonetik lokal dan bahasa ibu, yang dirancang khusus untuk kebutuhan masyarakat adat.  Lembaga ini telah berhasil memberi manfaat bagi lebih dari 15.000 anak-anak dan orang dewasa, dengan penekanan kuat pada pemberdayaan pemuda setempat untuk menjadi pendidik dan advokat bagi komunitas mereka.

Sokola menyasar beberapa daerah paling terpencil dan kurang terlayani di Indonesia. Selama bertahun-tahun, organisasi ini telah memperoleh pengakuan internasional yang signifikan atas program-program inovatifnya. Salah satu pencapaian Sokola yang paling menonjol adalah program "Sokola Rimba", yang kemudian diadaptasi menjadi buku dan film pemenang penghargaan.

Hingga saat ini, Sokola terus mengadvokasi pendidikan sebagai hak dasar dan alat untuk memberdayakan masyarakat terpinggirkan, memastikan mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berkembang di dunia yang berubah dengan cepat.

Melalui Ayu Kartika Dewi, Amelia Nugrahaningrum, dan Butet Manurung membuktikan bahwa semangat juang Kartini untuk memajukan sesama manusia akan tetap ada di dalam tubuh masyarakat Indonesia. Tiga perempuan ini mampu berjuang untuk menjaga alam, toleransi, dan memberikan pendidikan yang layak bagi bangsa Indonesia. (*)

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |