Jakarta, CNN Indonesia --
Seorang korban kecelakaan truk tambang di Rumpin, Kabupaten Bogor, bernama Devi menceritakan dugaan kebiasaan sopir truk tambang yang dengan sengaja membuat korban meninggal jika terjadi kecelakaan, untuk menekan biaya santunan dan ganti rugi.
Devi adalah penyintas kecelakaan. Insiden ini ia alami bersama temannya pada 19 Agustus 2020.
Di hadapan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Devi yang duduk di kursi roda menyebut dirinya ditabrak oleh truk tambang saat hendak berbelok ke SPBU sepulang sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya kan cuma keserempet. Tapi bemper udah kena pinggang. Udah kerasa patah," ujar Devi, dikutip dari Instagram Dedi, Sabtu (4/10).
Menurut Devi, temannya yang mengemudikan sepeda motor sempat bengong karena kaget. Ia lantas menepuk-nepuk temannya untuk menyadarkan.
Malangnya, teman Devi refleks melompat meninggalkan sepeda motor dan Devi. Motor yang ditinggalkan pengemudinya ini kemudian oleng dan terjatuh.
"Si motor jatuh lah ke bawah. Si supir karena udah tahu jatuh, jadi dibablasin. Kalau meninggal kan itu biayanya kayak sedikit," tutur Devi.
"Tapi kalau masih selamat, itu berkelanjutan. Jadi dibablasin sama supir," katanya lagi.
KDM tampak terkejut mendengar cerita Devi soal sisi gelap pertambangan tersebut.
"Maka kalau meninggal, santunannya kecil?" tanya Dedi.
Devi mengatakan hal semacam ini sudah tradisi di kawasan pertambangan Rumpin, Kabupaten Bogor.
"Biasanya pertambangan itu kayak gitu, Pak. Kalau supir nabrak orang, kalau meninggal, dia biayanya sedikit. Tapi kalau misal selamat kayak Devi, itu berkepanjangan. Jadi dia rugi. Dia akan mengeluarkan ganti rugi," tutur Devi.
Masalah di Parung Panjang
Persoalan antara warga dan truk tambang ini kembali mencuat setelah terjadi gesekan di Kecamatan Parung Panjang, Kecamatan Rumpin dan Kecamatan Cigudeg.
Dedi kemudian menghentikan sementara aktivitas pertambangan di wilayah ini.
Dalam surat bernomor 7920/ES.09/PEREK yang ditandatangani Dedi, tertulis perintah untuk penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sejak tanggal 26 September 2025 hingga waktu yang tidak ditentukan.
Permintaan penghentian aktivitas pertambangan dilakukan lantaran masih terdapat permasalahan terkait aspek lingkungan dan keselamatan sehingga menyebabkan terganggunya ketertiban umum, kemacetan, polusi, kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan serta berpotensi terjadinya kecelakaan.
Kemudian pelaksanaan tata kelola kegiatan tambang termasuk rantai pasok masih belum sesuai sebagaimana yang diamanatkan pada surat edaran sebelumnya dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Penghentian aktivitas tambang sepat menuai penolakan. Dedi mengaku memahami kekecewaan dan kemarahan para penambang hingga sopir truk atas kebijakannya tersebut.
"Tetapi Anda juga harus paham, dari 2019 sampai 2024 ada 195 orang meninggal di jalanan karena terlindas truk, tersenggol, bertabrakan, ada 104 luka berat. Pertanyaannya adalah, ke mana Anda semua ketika banyak anak-anak yang kehilangan bapaknya?," kata Dedi dalam video yang diunggah seperti dikutip Senin (29/9).
(lmy/vws)