TEMPO.CO, Medan - Alih fungsi hutan besar-besaran serta menurunnya daya dukung dan daya tampung hutan di bentang alam Simarbalatuk-Sitahoan-Sibatuloting yang mengelilingi kota wisata Parapat dengan pemandangan Danau Toba ditengarai menjadi penyebab banjir bandang hebat di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, akhir Maret lalu.
Banjir bandang itu telah merusak jantung pariwisata Danau Toba di Kota Parapat. Aktivitas pariwisata lumpuh. Bencana ekologis itu disebabkan kerusakan hutan di hulu Danau Toba. Banjir menghantam ratusan lokasi wisata di Parapat dan sekitarnya, termasuk hotel, restoran dan permukiman serta membuat jalan nasional lintas Sumatera lumpuh total.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pegiat lingkungan hidup pun berinisiatif menemukan penyebab banjir bandang. Tim ekspedisi banjir bandang Parapat yang terdiri dari akademisi, rohaniawan, serta aktivis lingkungan melakukan penelusuran langsung alur atau jejak longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau tombak Simarbalatuk-Sitahoan. Harangan atau tombak dalam bahasa Batak adalah hutan. Ekspedisi ini bertujuan untuk mengobservasi secara langsung penyebab banjir bandang yang melanda Kota Parapat.
"Kami memulai perjalanan dari harangan Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga yang meluap dan menyebabkan Kota Parapat banjir dan lumpuh total. Selama perjalanan, kami menemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat setempat. Namun, sistem perladangan tersebut bersifat agroforestri yang didominasi tanaman keras, tapi tidak mengubah bentang alam," kata pegiat lingkungan, Pendeta Jurito Sirait, kepada Tempo, Sabtu 10 Mei 2025.
Dari hulu Sungai Batu Gaga, kata Jurito, mereka melanjutkan perjalanan menuju harangan Simarbalatuk. Di lokasi ini, tepat di ketinggian sekitar 1.100-1.200 meter diatas permukaan laut (mdpl), tim menemukan alur longsor yang memuncak di ketinggian 1.500 mdpl. Panjang longsor sekitar 300-400 meter, lebar 4–5 meter dengan kedalaman 3–4 meter.
"Material longsor terdiri dari batu besar, sedang, dan kecil yang bercampur dengan sebagian tanah liat dan lapisan tanah gembur. Di sepanjang alur longsor juga melintang sejumlah kayu besar dan kecil, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan akan membentuk kolam-kolam air yang dapat menimbulkan banjir bandang berikutnya. Kota wisata Parapat dan kawasan Danau Toba akan terancam banjir bandang." ujar Jurito.
Ekspedisi yang dilakuan Jurito dan rekannya, antara lain Dosen Mata Kuliah Isu dan Kebijakan Lingkungan Program Studi Administrasi Publik Universitas HKBP Nommensen, Dimpos Manalu, menemukan keterkaitan antara banjir bandang dan konsesi perusahaan pulp PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Berdasarkan pengukuran menggunakan Avenza Maps, lokasi longsor Parapat berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga—tempat meluapnya air sungai pada Maret lalu. Titik awal longsor hanya berjarak sekitar 2,33 kilometer dari konsesi TPL.
Hasil riset empat lembaga nonpemerintah, yaitu Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) AURIGA, AMAN Tano Batak dan Jaringan Advokasi Masyarakat Sumatera Utara memperkuat keterkaitan banjir bandang Parapat dengan kegiatan PT TPL. Riset tersebut mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun terakhir (tahun 2000-2023) telah terjadi penurunan signifikan luas hutan alam Parapat kawasan Danau Toba seluas 6.503 hektare di lima kecamatan sekitar Parapat, yakni Girsang Sipangan Bolon, Hatonduhan, Pematang Sidamanik, Dolok Panribuan, dan Jorlang Hataran. Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektare.
"Analisis ini membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah lima kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi kebun eukaliptus PT TPL," kata Dimpos Manalu.
Berdasarkan hasil ekspedisi dan temuan di lapangan, sambung Dimpos Manalu, mereka menyimpulkan bahwa banjir bandang yang terjadi di Parapat dipicu oleh longsor yang terjadi di Dolok Simarbalatuk. "Penyebab utamanya kegiatan deforestasi yang dilakukan PT TPL." ujar Dimpos.
Bencana yang merusak kota wisata Parapat pada Maret lalu, ujar Dimpos, bukanlah peristiwa pertama. Parapat sekitarnya telah berulang kali mengalami banjir bandang sebelumnya seperti 2021 lalu. Hal itu menunjukkan bahwa ada permasalahan sistemik dalam pengelolaan ekosistemnya. "Situasi ini menjadi bukti bahwa ekosistem di sekitar Parapat dan Danau Toba secara keseluruhan berada dalam kondisi kritis." tutur Dimpos.
Jika deforestasi dan konversi lahan oleh PT TPL terus dibiarkan tanpa kendali, kata Dimpos, maka bencana banjir bandang dapat semakin sering terjadi dan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian wilayah. "Kami tidak menakut-nakuti kota wisata Parapat sebagai pintu depan menuju Danau Toba sedang terancam banjir bandang yang lebih besar pada masa mendatang. Bisa dalam waktu dekat," kata Manalu.
Jurito dan Dimpos senada menilai perubahan alam yang ditimbulkan akibat kehadiran Indorayon sejak 1980 an yang berganti nama menjadi TPL, lingkungan hidup sekitar Danau Toba menjadi terganggu dan rusak parah.
"Banyak anak sungai yang kering, hutan menjadi homogen (eukaliptus) yang berakibat terganggunya ekologi sekitaran hutan dan lingkungan sekitaran. Monyet dan berbagai binatang buas seperti beruang sering masuk kampung karena habitatnya sudah hilang. Bencana demi bencana sudah terjadi akibat kerusakan alam yang ditimbulkan TPL," kata Jurito.
Selain pegiat lingkungan, pimpinan tertinggi gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menyerukan agar kegiatan PT TPL dihentikan. Ephorus HKBP Pendeta Victor Tinambunan meminta penutupan pabrik pulp yang berlokasi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, itu. Tinambunan menyampaikan tujuh hal yang membuat HKBP dengan jumlah jemaat 6,5 juta jiwa dan sebagian besar bermukim di kawasan Danau Toba, meminta TPL ditutup.
Tujuh hal tersebut, kata Tinambunan, sebagai bentuk keprihatinan dan tanggung jawab moral sebagai bagian dari masyarakat di Tanah Batak dan pimpinan Gereja HKBP dengan jumlah jemaat terbesar di Indonesia beranggotakan sekitar 6,5 juta jiwa.
"Bahwa keberadaan PT TPL telah memicu berbagai bentuk krisis sosial dan ekologis: mulai dari rusaknya alam dan keseimbangan ekosistem, rentetan bencana ekologis seperti banjir bandang, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, perubahan iklim, jatuhnya korban jiwa dan luka, hilangnya sebagian lahan pertanian produktif," kata Tinambunan kepada Tempo.
Direktur PT TPL Jandres Silalahi membantah operasional TPL menjadi penyebab banjir bandang dan kerusakan ekologis kawasan Danau Toba. Tuduhan krisis ekologis dan sosial akibat kehadiran TPL, kata Jandres, adalah tidak berdasar. "Justru sebaliknya, TPL selama ini memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian lingkungan dan pembangunan sosial di wilayah operasionalnya," ujar Jandres.
Ia juga membantah kontribusi TPL terhadap banjir bandang hebat yang berulang kali menyapu kota wisata Parapat. Secara ilmiah, kata Jandres, lokasi atau titik banjir bandang Maret lalu berjarak sekitar 4 kilometer dari konsesi TPL dan masih terhalang kawasan hutan lindung.