KPK Periksa Mantan Bupati Kapuas dalam Kasus Korupsi di LPEI

19 hours ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah periode 2008-2013 Muhammad Mawardi bersama dengan empat saksi lain dalam perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Mereka diperiksa pada Kamis kemarin, 8 Mei 2025 di Polda Kalimantan Tengah.

“Kamis, 8 Mei, KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis yang dikutip, Ahad, 11 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat saksi lain yang diperiksa, yakni karyawan BJU Grup/Direktur Operasional (Koodinator Teknis PT Mega Alam Sejahtera atau PT MAS dan PT KPN) Raden Bagus Tri Dwinanta Saleh, Kepala Bidang Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah Harry Soetrisno, karyawan BJU Group Djoko Tri Astoto, dan Koordinator Legal PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) Tedi Rakhmat Taji.

Budi mengatakan, penyidik mendalami alasan izin usaha pertambangan (IUP) PT SMJL tetap beroperasi padahal izinya sudah dicabut sejak 2010 dari saksi Muhammad Mawardi, Harry Soetrisno, dan Tedi Rakhmat. Untuk Raden Bagus Tri Dwinanta Saleh, KPK meminta keterangan perihal operasional PT MAS, termasuk mengenai hasil produksi tambang dan penjualannya. Dari Djoko Tri Astoto, KPK menggali keterangan soal aliran dana yang diperoleh dari LPEI.

Kasus korupsi di LPEI ini bermula dari laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Kejaksaaan Agung pada Senin, 18 Maret 2024. Berdasarkan laporan tersebut, LPEI membentuk tim terpadu bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jamdatun Kejaksaan Agung, dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Dari hasil pengamatan, muncul indikasi adanya kecurangan atas dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh empat debitur.

“Jadi untuk tahap pertama Rp 2,5 triliun dengan nama debiturnya (perusahaan) RII sekitar Rp 1,8 triliun, PT SMR Rp 216 miliar, PT SRI Rp 1,44 miliar, PT BRS Rp 300,5 miliar. Jumlah keseluruhannya total Rp 2,505 triliun,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin setelah menerima kunjungan Sri Mulyani pada Senin, 18 Maret 2024.

Pada 1 Februari 2024, dugaan korupsi di LPEI juga dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Kejaksaan Agung RI. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan investigatif, ditemukan adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana oleh pihak-pihak terkait pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada debitur, yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar Rp 81 miliar.

Dalam kasus ini, KPK menilai bahwa terjadi benturan kepentingan antara Direktur LPEI dengan Debitur PT Petro Energy (PE) karena membuat kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit. PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang menjadi underlying atas pencairan fasilitas yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Fasilitas kredit yang diberikan LPEI kepada PT PE telah merugikan negara dengan outstanding pokok KMKE 1 PT PE senilai UD 18.070.000. Sementara itu, kerugian negara untuk outstanding pokok KMKE 2 PT PE mencapai Rp 549.144.535.027. Bila dijumlahkan dalam mata uang rupiah, maka nilai tersebut mencapai sekitar Rp 891,305 miliar.

KPK sebelumnya telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut dari pihak swasta dan penyelenggara negara. Keputusan tersebut dijatuhkan setelah KPK menggelar rapat ekspose pada 26 Juli 2024. Kini, jumlah tersangka telah mencapai 12 orang setelah KPK menetapkan lima orang tersangka lainnya, termasuk Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |