TEMPO.CO, Jakarta - Penulisan ulang sejarah Indonesia menjadi salah satu proyek besar yang tengah berjalan menjelang perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025.
Inisiatif ini digagas oleh Kementerian Kebudayaan dengan tujuan memperbarui narasi sejarah nasional yang selama ini dianggap belum sepenuhnya akurat dan komprehensif. Namun, proyek ini tidak lepas dari kontroversi dan beragam harapan dari berbagai kalangan.
Mekanisme Penulisan Ulang Sejarah
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menjelaskan bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini melibatkan sekitar 100 sejarawan dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka bertugas menulis, merevisi, dan menyunting isi buku sejarah berdasarkan penelitian ilmiah terbaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menyusun kerangka konsepnya, Kementerian Kebudayaan menunjuk tiga sejarawan terkemuka yang terdiri dari Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin. Buku-buku sejarah yang selama ini menjadi rujukan, seperti Sejarah Nasional Indonesia (1980-an) dan Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), akan menjadi dasar awal dalam penyusunan versi terbaru ini.
Fadli Zon menambahkan bahwa buku sejarah ini akan menjadi “sejarah resmi” Indonesia, yang ditulis secara kolektif oleh tim sejarawan Indonesia dalam 10 jilid. Tujuannya adalah untuk memperkuat rasa kebangsaan dan menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air.
Tanggapan dari Berbagai Tokoh
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia mendapat perhatian dari berbagai tokoh politik. Ketua DPR, Puan Maharani, memberikan tanggapan terkait kebijakan Kementerian Kebudayaan yang sedang menyusun ulang sejarah bangsa. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak mengaburkan fakta sejarah yang sebenarnya.
“Jangan ada pengaburan,” ujar Puan usai memimpin rapat paripurna di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025.
Lebih lanjut, Puan mengatakan pemerintah wajib menulis sejarah apa adanya, meski terkadang kenyataannya pahit. Baginya, sejarah adalah hal yang penting dan tidak boleh dilupakan.
Sebagai Ketua DPP PDIP, Puan meyakini bahwa penulisan ulang sejarah yang berdasarkan fakta akan memberikan edukasi berharga bagi generasi muda tentang bagaimana bangsa Indonesia berdiri. Dengan cara ini, anak-anak Indonesia bisa lebih mengenal perjuangan para pahlawan di masa lalu.
Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ahmad Muzani, melihat upaya penulisan ulang sejarah ini sebagai langkah penting untuk memperkaya khazanah sejarah bangsa. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada satu versi sejarah yang mutlak benar.
“Sejarah memiliki versinya masing-masing,” kata Muzani saat ditemui di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025.
Muzani meminta agar proses penulisan ulang sejarah tidak dipersoalkan secara berlebihan. Ia mengajak masyarakat untuk menyambut baik kebijakan pemerintah ini.
Kontroversi dan Kritik
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia menuai kritik keras dari banyak pihak. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak keras inisiatif pemerintah ini karena dianggap berusaha mengubah narasi sejarah demi kepentingan politik tertentu.
Dalam rapat dengan Komisi X DPR pada 19 Mei 2025, AKSI menyampaikan penolakannya lewat manifesto yang dibacakan Ketua AKSI, Marzuki Darusman. Mereka khawatir proyek ini akan menghasilkan satu versi sejarah yang mengabaikan keberagaman cerita bangsa.
AKSI memberikan lima alasan utama penolakan: pertama, proyek ini diduga untuk menguntungkan kekuasaan dan mengontrol ingatan masyarakat. Kedua, proyek ini bisa membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat warga. Ketiga, proyek ini berpotensi membuka jalan bagi otoritarianisme dengan menjadikan sejarah sebagai alat mutlak.
Keempat, Wakil Ketua AKSI, Sulistyowati Irianto, menyebut proyek penulisan ulang sejarah ini pengkhianatan terhadap prinsip kerakyatan, karena sejarah seharusnya milik rakyat, bukan hanya pemerintah. Kelima, AKSI menolak keras versi sejarah tunggal karena berbahaya dan menutup fakta sebenarnya.
Mega Putri Mahadewi, dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Alasan Pemerintah Buat Penulisan Ulang Sejarah Indonesia