TEMPO.CO, Jakarta - Dua hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menjadi terdakwa kasus suap dan gratifkasi perkara Ronald Tannur mengajukan diri sebagai justice collaborator. Dua hakim itu adalah Erintuah Damanik dan Mangapul.
Niat Erintuah Damanik dan Mangapul itu disampaikan langsung kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 18 Februari 2025. "Kami, atas kesepakatan dengan klien kami, mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator," kata penasihat hukum Erintuah dan Mangapul, Philipus Sitepu, kepada majelis hakim. "Pak Mangapul dan Pak Erintuah bersedia diperiksa sebagai saksi kapan pun yang diinginkan JPU (jaksa penuntut umum)."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philipus mengklaim, saksi-saksi yang telah dihadirkan jaksa di persidangan belum bisa membuktikan tentang tindak pidana. Sehingga, keterangan Erintuah dan Mangapul bisa menjadi kunci untuk membuktikan adanya pidana suap dan gratifikasi pengurusan perkara Ronald Tannur. "Sehingga, kami memohon kepada majelis dalam surat agar klien kami, atas nama Pak Erintuah dan Pak Mangapul, sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator," ujar Philipus.
Ditemui usai persidangan, Philipus menegaskan, Erintuah dan Mangapul sudah menyesali perbuatannya. Mereka berdua juga ingin berubah dan memperbaiki diri. Sebagai bukti, dua kliennya itu telah mengembalikan uang yang mereka terima kepada Kejaksaan. Pengembalian itu dilakukan lewat istri mereka. "Total yang diserahkan oleh klien kami itu 115 ribu dolar Singapura," katanya. "Apalagi klien kami ini sudah tua, jadi tidak ingin persidangan yang berlarut-larut."
Sementara itu, terdakwa lainnya, Heru Hanindyo, tidak mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC). Penasihat hukum Heru, Farih Romdoni, mengatakan konsep itu baik pelaku yang membantu menguak peristiwa pidana tersebut. Sedangkan Heru berkukuh menyatakan tak terlibat dalam kasus suap pengurusan perkara Ronald Tannur.
"Jadi, bagaimana kami bisa mengajukan klien kami sebagai JC kalau klien kami tidak pernah terlibat dalam kasus ini?" ucap Farih usai persidangan. "Makanya ketika ada justice collaborator ini, kami cukup kaget lah, siapa lagi yang mau dikenakan?"
Dia mengklaim, hingga saat ini tidak ada saksi yang menyatakan kenal Heru Hanindyo. Bahkan tidak ada saksi yang bilang Heru menerima sesuatu.
Dalam perkara ini, tiga hakim PN Surabaya didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar dan S$ 308 ribu (sekitar Rp 3,67 miliar). JPU menduga hadiah atau janji itu untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada tiga hakim tersebut. Ketiganya diduga telah mengetahui uang yang diberikan oleh Lisa Rahcmat adalah untuk menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap kliennya Ronald Tannur dari seluruh dakwaan penuntut umum.
Selain itu, jaksa penuntut umum mendakwa Erintuah Damanik menerima uang gratifikasi dalam berbagai mata uang. Duit uang diterima itu sebesar Rp 97,5 juta, S$ 32 ribu, dan RM 35.992,25.
Mangapul juga didakwa menerima gratifikasi. Ia diduga menerima uang tunai sebesar Rp 21,4 juta, US$ 2.000, dan S$ 6.000.
Sedangkan Heru Hanindyo didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 104.500.000 atau Rp 104,5 juta, US$ 18.400, S$ 19.100, ¥ 100.000, € 6.000, dan SR 21.715.
Ketiganya didakwa menerima suap ihwal vonis bebas Ronald Tannur yang melanggar Pasal 12c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas penerimaan gratifikasinya, ketiganya didakwa melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.