Indonesia Dinilai Gagal Tunjukkan Konsistensi Aksi Iklim

3 hours ago 8

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai tertinggal dalam menetapkan strategi kebijakan mitigasi iklim meski 10 tahun telah berlalu sejak Perjanjian Paris. Walaupun berkomitmen memangkas emisi, ketergantungan Indonesia pada energi fosil masih tinggi.

Indonesia juga gagal memenuhi tenggat waktu pengajuan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 September 2025. Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono mengatakan keterlambatan Indonesia menyerahkan dokumen SNDC, setelah tenggat waktu pengumpulan diperpanjang hingga akhir September 2025, akan mencederai kredibilitas Indonesia sebagai negara yang menyatakan diri sebagai pihak yang serius dalam memitigasi krisis iklim.

“Keterlambatan penyerahan dokumen SNDC ini merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia sudah hilang arah dalam perencanaan mitigasi iklim. Hal ini juga diperkuat dengan ditekennya Peraturan Pemerintah (PP) 40/2025 terkait Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru yang masih mengakomodir ekspansi energi fosil hingga 2060,” kata Agung dalam pernyataannya, Selasa (7/10/2025).

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadadmendesak pemerintah untuk segera mempublikasikan target iklim terbaru dengan menerbitkan Second NDC sebelum Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil. “Dokumen tersebut bukan hanya sebagai dokumen global, tetapi juga menjadi tonggak penguatan arah pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan iklim,” kata Nadia.

Yayasan CERAH mencatat dalam laporan “A Decade of National Climate Action: Stocktake and the Road Ahead” yang dirilis Deep Decarbonization Pathways (DDP) mengungkapkan Indonesia termasuk negara yang lambat dalam mempublikasikan rencana dan target iklimnya. Indonesia masih tertinggal dalam menerjemahkan strategi jangka panjang menjadi kebijakan konkret lintas sektor serta mengatasi hambatan sosial-ekonomi transisi energi demi mitigasi krisis iklim.

“Negara-negara telah mulai merombak tata kelola iklim, memasukkan perspektif jangka panjang ke dalam perumusan kebijakan, dan mempercepat perubahan teknologi. Kemajuan ini signifikan. Namun pelajaran dari dekade terakhir juga jelas: jika kita ingin mencapai target Perjanjian Paris, dekade berikutnya harus menjadi periode untuk memperbesar skala upaya, menghadapi tantangan sosial dan industri, serta memastikan bahwa ambisi secara konsisten diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang efektif,” ujar Direktur DDP Initiative Henri Waisman.

Mengacu laporan ini, setelah meratifikasi Perjanjian Paris sejak 2016, Indonesia telah menaikkan ambisi iklimnya melalui NDC yang diperbarui, dengan target penurunan emisi 31,89 persen secara mandiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030, serta target net zero pada 2060 atau lebih cepat.

Berbagai strategi—mulai dari Strategi Jangka Panjang untuk Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050), program FOLU Net Sink 2030, transisi energi, hingga reformasi tata guna lahan berkelanjutan—telah digulirkan. Namun, ketergantungan tinggi pada batu bara, lemahnya infrastruktur, serta penegakan regulasi yang tidak konsisten dinilai mengancam kredibilitas komitmen tersebut.

DDP juga menekankan transisi energi Indonesia menghadapi risiko serius, mulai dari terjebak pada ketergantungan bahan bakar fosil, keterbatasan pengembangan energi terbarukan, hingga kesenjangan pendanaan iklim. Tantangan sosial-ekonomi seperti potensi hilangnya pekerjaan di sektor fosil, ketimpangan regional, serta keterjangkauan energi juga membuat proses transisi energi di Indonesia semakin sulit.

Padahal, laporan juga mengungkapkan adanya peluang ekonomi hijau yang dapat menciptakan hingga 1,8 juta lapangan kerja baru pada 2030, terutama di sektor energi terbarukan, transportasi bersih, dan industri berbasis sumber daya.

Karenanya, Agung menegaskan, Indonesia harus memperbaiki dokumen perencanaan ketenagalistrikannya untuk membuka ruang rencana mitigasi krisis iklim yang lebih serius.

“Kami meminta agar pemerintah dapat melakukan pembaharuan terhadap dokumen-dokumen perencanaan seperti Rencana Usaha Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), agar dokumen turunan seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Umum Energi Daerah (RUED), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dapat mengakomodir pertumbuhan energi terbarukan dan menurunkan penggunaan energi fosil untuk menekan emisi yang semakin parah,” kata Agung.

Laporan DPP juga mendorong Indonesia mengambil langkah perubahan pada 2025-2030, termasuk di sektor energi. Indonesia perlu memperbarui RUPTL agar sejalan dengan target energi terbarukan serta pengetatan pembatasan PLTU captive, dan memperluas pasar karbon domestik dengan kesiapan integrasi ke mekanisme internasional.

Laporan ini juga mendorong percepatan adopsi teknologi rendah karbon, mobilisasi pembiayaan iklim melalui skema inovatif dan akses lebih besar ke pendanaan internasional, serta penguatan koherensi kebijakan lintas sektor.

Selain itu, Nadia mengingatkan risiko kebijakan energi pemerintah yang mendorong pembukaan hutan, seperti pembakaran bersama biomassa dengan batu bara (co-firing biomassa) di PLTU. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berimbas pada strategi Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, yakni kebijakan publik untuk mewujudkan sektor hutan dan lahan Indonesia yang menyerap lebih banyak emisi daripada yang dikeluarkan.

“Target FOLU Net Sink 2030 untuk mendorong penurunan emisi tidak akan tercapai jika kebutuhan energi ditujukan pada pembukaan hutan. Target co-firing biomassa bisa memicu kebutuhan subtitusi dari batu bara ke pembukaan hutan yang sengaja ditanam untuk memproduksi bahan baku sebagai sumber energi, seperti kayu, limbah pertanian, atau tanaman energi khusus,” kata Nadia. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |