Jakarta, CNN Indonesia --
Kejaksaan Agung menangkap Direktur Utama perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman (Sritex) periode 2014-2023 Iwan Setiawan Lukminto dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit bank kepada PT Sritex.
Kejagung memang tengah mengusut dugaan kasus korupsi yang terjadi pada PT Sritex.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan dugaan korupsi ini berkaitan dengan pemberian fasilitas kredit dari perbankan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sritex adalah salah satu perusahaan swasta bergerak di bidang tekstil terbesar di Asia Tenggara. Sritex dinyatakan pailit baru-baru ini.
Harli mengungkap alasan Kejagung mengusut dugaan korupsi di Sritex yang bukan perusahaan plat merah.
Dia bilang, dugaan korupsi tetap diusut lantaran pemberian fasilitas kredit oleh perbankan dilakukan perusahaan milik negara, baik dari bank daerah maupun bank nasional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara secara eksplisit menyatakan bahwa keuangan daerah juga merupakan keuangan negara.
Dengan dasar UU itu, Harli menyebut apabila ditemukan tindakan melanggar hukum terkait pemberian fasilitas kredit terhadap perusahaan keluarga Lukminto, maka masuk kategori korupsi.
"Oleh karenanya kita melihat apakah dana-dana yang diberikan sebagai pinjaman ke bank ke PT Sritex oleh uang pemerintah ini dan bank daerah ada terindikasi ya," tutur dia, Senin (5/5).
"Perbuatan melawan hukum yang terindikasi merugikan keuangan negara atau daerah. Itulah yang mau dilihat dari sisi apakah ada kerugian negara di situ," imbuhnya.
Pada prosesnya, Kejagung telah memeriksa sejumlah saksi dari Bank BUMD.
Selain itu, Kejagung juga memeriksa manager accounting PT Senang Kharisma Textile, Yefta Bagus Setiawan. Ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi.
Harli menjelaskan pengumpulan keterangan itu dilakukan penyidik guna mencari fakta awal terkait ada dan tidaknya perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau daerah.
Selain itu, Kejagung juga memeriksa sejumlah dokumen yang terkait dengan pemberian kredit kepada Sritex.
"Jadi, penyidik masih berfokus pada penemuan fakta itu. Karena memang harus berawal dari apakah memang ada indikasi tindak pidana korupsi itu harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup," ungkap Harli.
Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024 lalu. Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu tercatat tidak mampu membayar utang senilai Rp32,6 triliun.
Rincian utang itu terdiri dari Tagihan Kreditor Preveren sebesar Rp691.423.417.057,00; Tagihan Kreditor Separatis sebesar Rp7.201.811.532.198,03; dan Tagihan Kreditor Konkuren sebesar Rp24.738.903.776.907,90.
Kondisi itu berujung pada penutupan operasional Sritex pada 1 Maret 2025 yang menyebabkan sebanyak 10 ribu pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
(mnf/tfq/wis)