Menag Buka Halaqah Internasional di As’adiyah: Santri Harus Membaca Alam, Diri, dan Alquran

3 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID,WAJO -- Menteri Agama RI, Prof Nasaruddin Umar, secara resmi membuka Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis (2/10/2025) malam. Forum ini mengangkat tema “Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats.”.

Dalam sambutannya, ia mengingatkan pentingnya cara membaca yang komprehensif sebagaimana diperintahkan Alquran. Menurutnya, ada tiga objek utama yang harus dibaca oleh setiap Muslim, khususnya para santri.

“Yang pertama adalah membaca alam semesta, yang kedua adalah membaca ayat-ayat yang merasuk dalam diri manusia, dan yang ketiga adalah membaca kitab suci Alquran,” ujar Nasaruddin.

Ia menegaskan bahwa membaca tidak hanya sekadar aktivitas melafalkan huruf. Menurutnya, kata iqra’ juga berarti menghimpun. Seperti pohon yang menghimpun akar, batang, daun, dan buah; atau manusia yang menghimpun seluruh unsur makrokosmos dalam dirinya.

“Himpunan yang paling sempurna adalah manusia. Karena itu, Ibnu Arabi menyebut bahwa sejatinya makrokosmos itu manusia, bukan alam semesta,” ucapnya.

Nasaruddin juga mengingatkan pesantren agar tidak berhenti pada bacaan tekstual semata. Alquran, katanya, harus dibaca tidak hanya sebagai kitabullah (petunjuk bagi seluruh manusia), tetapi juga sebagai kalamullah (firman Allah yang lebih tinggi). 

“Alquran sebagai kitabullah bisa dipelajari siapa saja. Tapi untuk mengakses Alquran sebagai kalamullah, hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang bertakwa,” kata Nasaruddin.

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta inj lalu mengurai makna berlapis dari perintah iqra’ dalam Alquran. Menurutnya, ada empat tingkatan iqra’, yaitu Alquran, isyarat Alquran, lathaif Alquran, dan haqaiq Alquran. 

“Jangan kita bangga hanya karena hafal Alquran atau mampu menafsirkannya. Di atas langit masih ada langit. Masih ada lapisan terdalam, yakni haqaiq Alquran,” jelasnya.

Lebih jauh, Nasaruddin menyinggung relevansi tema halaqah terkait ekoteologi. Menurutnya, upaya menyelamatkan lingkungan tidak bisa hanya menyentuh perilaku (ethos), melainkan harus meninjau ulang cara berpikir (logos) bahkan fondasi teologisnya. 

“Mustahil kita bisa mengubah ethos tanpa mengubah logos. Dan mustahil kita mengubah logos tanpa meninjau teologi,” ujar Nasaruddin.

Ia juga menekankan pentingnya pesantren untuk mengkaji kitab turats dengan pendekatan multidisipliner, mulai dari semantik, filologi, hingga antropologi. 

“Tidak semua kitab kuning bisa disebut turats. Kitab turats adalah karya yang ditulis oleh ulama mumpuni, yang menghayati filosofi dasar Alquran dan hadis, serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah,” ucapnya.

Ia pun mengajak santri untuk tidak berhenti pada bacaan yang dangkal. “Alquran itu bukan sekadar informasi, tapi konfirmasi. Membaca Alquran berarti membaca alam, membaca diri, lalu mengkonfirmasikan semuanya dengan wahyu. Itulah tradisi ilmiah pesantren yang harus terus dikembangkan,” kata Nasaruddin.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |