SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Suasana di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada Senin (6/10/2025) sore berubah menjadi lautan keprihatinan. Ratusan sivitas akademika, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga alumni, berkumpul menyuarakan satu tuntutan: bebaskan Muhammad Fakhrurrazi alias Paul dan ratusan aktivis lain yang ditangkap aparat.
Aksi yang digelar di pelataran gedung auditorium Prof. Dr. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir itu bukan sekadar unjuk rasa. Sebuah “kuburan” lengkap dengan tabur bunga diletakkan di tengah lokasi aksi — simbol tragis matinya demokrasi dan terkuburnya kebebasan sipil di negeri ini.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Prof. Masduki, dalam orasinya menyebut penangkapan Paul merupakan peringatan keras bahwa demokrasi Indonesia sedang dalam bahaya.
“Mengapa kuburan? Karena kita sedang menandai bahwa demokrasi mengalami kematian. Ketika kebebasan berbicara direpresi dan dikriminalisasi, maka itu tanda kemunduran serius dari warisan reformasi,” tegasnya.
Masduki menilai Paul bukan sekadar aktivis biasa. Ia dianggap sebagai representasi generasi muda yang berani berpikir kritis di tengah situasi politik yang semakin mengekang.
“Paul mewakili anak muda yang sadar bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Saat suara rakyat dibungkam, harus ada yang berani bicara. Dan Paul telah melakukannya, meski harus dibayar dengan penangkapan,” imbuhnya.
Bagi para akademisi UII, penangkapan Paul bukan kasus hukum semata, melainkan gejala kemunduran sistemik dalam kehidupan berdemokrasi. Mereka menilai, tindakan represif terhadap warga yang menyuarakan pendapat menandakan runtuhnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Dalam aksi itu, sejumlah peserta terlihat memegang poster bertuliskan “Bebaskan Paul, Hidupkan Demokrasi”, “Negara Tak Boleh Takut pada Kritik”, dan “Kritik Bukan Kejahatan”.
Bersamaan dengan itu, civitas UII juga membacakan pernyataan sikap resmi yang menuntut lima hal penting: pembebasan segera Paul dan seluruh aktivis yang ditahan, transparansi atas kondisi mereka di tahanan, penghentian perburuan terhadap aktivis dengan dalih “aktor kerusuhan”, penegakan hak asasi manusia secara konsisten, serta pembentukan Tim Reformasi Kepolisian yang melibatkan unsur masyarakat sipil.
“Kami menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk Paul, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang hari ini hidup dalam ketakutan dan pembungkaman,” demikian bunyi akhir pernyataan tersebut.
UII yang selama ini dikenal sebagai kampus moderat menegaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk tanggung jawab moral kaum intelektual untuk menjaga nurani demokrasi agar tidak benar-benar mati. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.