REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc menjadi narasumber Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (FH UMJ).
Tema kuliah umum tersebut adalah “Pemikiran dan Praktek Pemberian Amnesti dan Abolisi dalam Perspektif Sejarah Indonesia” di Aula Fakultas Hukum UMJ, Kamis (2/10/2025).
Baca juga: FH UMJ Soroti Pembaruan Hukum Acara Pidana di Seminar Nasional
Dekan Fakultas Hukum UMJ, Dr Dwi Putri Cahyawati, SH, MH dalam sambutannya menyampaikan, kuliah umum ini bertujuan menggali pemikiran Yusril terkait praktik amnesti dan abolisi yang pernah terjadi di Indonesia. Sekaligus, memberikan pencerahan bagi mahasiswa mengenai mekanisme dan relevansi isu ini dalam hukum dan politik.
“Kami berharap mahasiswa dapat memperoleh wawasan luas serta pemahaman kritis mengenai amnesti dan abolisi, apalagi kehadiran Prof Yusril dengan pengalaman beliau di bidang hukum, legislatif, dan pemerintahan, akan memberikan perspektif berharga,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Yusril menjelaskan, amnesti dan abolisi merupakan kewenangan presiden yang sering disebut hak prerogatif atau kewenangan luar biasa (extraordinary power) dalam sistem ketatanegaraan.
“Amnesti berarti menghapus akibat hukum pidana, sementara abolisi menghentikan proses penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan landasan historis kewenangan tersebut. “Sejak awal kemerdekaan tahun 1945, kewenangan ini sudah melekat pada presiden. Bahkan dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW memberikan amnesti pada peristiwa Fathul Makkah. Seiring waktu, pengaturan amnesti dan abolisi dalam konstitusi Indonesia mengalami perubahan, mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, hingga amandemen UUD 1945,” jelasnya.
Yusril juga menyoroti perkembangan konstitusional pemberian amnesti dan abolisi. Di UUD 1945 awal, presiden memiliki prerogatif penuh. Namun pada masa Konstitusi RIS, amnesti hanya bisa diberikan melalui UU Federal dengan nasihat Mahkamah Agung.
‘’Sementara dalam UUDS 1950 lahir UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Setelah Dekret Presiden 1959 hingga amandemen UUD 1945, kewenangan Presiden tetap ada tetapi harus mendapat pertimbangan DPR,” ujarnya.
Dalam konteks kekinian, Yusril menyinggung kebijakan terbaru Presiden Prabowo.
“Pemberian amnesti dan abolisi pada Agustus 2025 menunjukkan kewenangan ini tetap relevan dan sah menurut hukum tata negara. Hal ini membuktikan, meski berakar pada sejarah panjang, praktik amnesti dan abolisi masih memiliki ruang penting dalam sistem hukum Indonesia,” pungkasnya.