Kebo-keboan Banyuwangi, Ritual Syukur yang Menjadi Pesta Budaya

3 hours ago 10
Tradisi Kebo-Keboan di Banyuwangi, Jawa Timur | Wikipedia

JOGLOSEMARNEWS.COM – Setiap tahun, tepat di bulan Sura dalam penanggalan Jawa, suasana Desa Alasmalang di Banyuwangi berubah riuh. Warga berduyun-duyun keluar rumah. Tapi uniknya, sebagian tubuhnya berlumur jelaga dan lumpur, lalu kepalanya mengenakan tanduk tiruan.

Mereka berjalan membungkuk, bahkan merangkak, menirukan gerak-gerik kerbau di sawah. Inilah momen sakral yang disebut Kebo-keboan — tradisi turun-temurun masyarakat Using, yang memadukan syukur, spiritualitas, dan kebersahajaan petani.

Bukan hanya sekadar tontonan, bagi masyarakat Banyuwangi, Kebo-keboan merupakan sebuah tradisi dan doa bersama agar bumi tetap subur, panen melimpah, dan warga dijauhkan dari mara bahaya.

Biasanya, sehari sebelum upacara, warga menggelar kenduri desa dengan nasi tumpeng dan hasil bumi sebagai simbol rasa syukur. Keesokan harinya, para “kerbau” manusia itu melakukan prosesi ider bumi, berkeliling desa mengitari empat penjuru mata angin. Iring-iringan itu diyakini sebagai upaya menolak bala, membersihkan desa dari pengaruh buruk, sekaligus memperkuat ikatan antarsesama warga.

Ritual ini berakar kuat pada kehidupan agraris masyarakat Using. Dalam pandangan mereka, selain sebagai hewan pekerja, kerbau menjadi sahabat petani, simbol kerja keras dan kesuburan.

Karena itu, ketika seseorang “menjelma” menjadi kerbau, ia sedang memerankan peran paling mulia dalam rantai kehidupan desa: menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Sebagaimana dijelaskan oleh As’adi (2019) dalam Jurnal An-Nas Universitas Sunan Giri, tradisi Kebo-keboan merupakan ekspresi kolektif spiritual masyarakat agraris yang memandang tanah dan hasil bumi sebagai berkah ilahi.

Makna sosial budaya dari Kebo-keboan pun tak kalah kuat. Penelitian oleh Prasetyo (2022) dari Universitas Negeri Yogyakarta menunjukkan bahwa tradisi ini menumbuhkan nilai-nilai gotong royong, kerendahan hati, dan penghormatan terhadap leluhur. Anak-anak muda diajak terlibat sejak dini, agar memahami bahwa adat bukan sekadar masa lalu, tetapi bagian dari jati diri.

Namun, tak dapat dipungkiri, perjalanan waktu yang demikian cepat dan dinamis telah membawa perubahan. Kebo-keboan kini mulai bertransformasi dan menjadi bagian dari kalender pariwisata Banyuwangi.

Festival, sponsor, dan wisatawan pun tak pelak datang silih berganti. Sebagian peneliti seperti Wahyudi (2023) dari Universitas Pendidikan Ganesha mencatat bahwa unsur pertunjukan dan promosi budaya memang membuat tradisi ini lebih dikenal luas, tetapi juga menantang masyarakat untuk menjaga keasliannya agar tak kehilangan makna sakral.

Di balik gemuruh musik tradisional dan sorak-sorai penonton, inti dari Kebo-keboan tetap sama, yakni rasa syukur atas anugerah alam. Di tanah yang subur dan lembap oleh lumpur sawah, warga Banyuwangi mengingatkan dunia bahwa manusia sejatinya hanyalah bagian kecil dari semesta, makhluk yang harus rendah hati di hadapan bumi yang memberinya kehidupan. [Hamdani]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |