Tujuh Oktober 2025 dan Tujuh Kejahatan Israel di Palestina

3 hours ago 6

Oleh : Heru Susetyo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ Direktur Eksekutif Misi Indonesia untuk Perdamaian Dunia (MINDA)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tujuh Oktober 2025 barangkali adalah tanggal biasa di Indonesia, sama seperti tanggal-tanggal lainnya.  Namun tidak untuk Palestina. Tanggal tersebut menandai awal serangan Israel ke Jalur Gaza, yang masih berlangsung hingga minggu pertama Oktober 2025. 

Memang secara faktual pihak Gaza (Hamas) yang melakukan serangan terlebih dahulu dengan operasi Thufan Al Aqsha nya.  Namun Israel membalas-nya dengan serangan brutal yang memusnahkan banyak warga sipil atas nama “bela diri” (self defense) dan “menghukum secara kolektif” (collective punishment).

Operasi Thufan al Aqsha adalah mengacu pada operasi militer besar yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, yang dipimpin oleh Hamas, terhadap Israel. Operasi yang dimulai pada 7 Oktober 2023 ini melibatkan serangan mendadak dan terkoordinasi dari Gaza ke wilayah Israel. Operasi ini dianggap sebagai salah satu upaya perlawanan Palestina terbesar dan tercanggih dalam perjuangan panjang mereka untuk membela diri dari penjajahan Israel sejak tahun 1948 sekaligus Upaya pembebasan dan perlindungan Masjid Al-Aqsa.

Operasi ini bertujuan untuk menantang pendudukan Israel, mematahkan stagnasi dalam negosiasi perdamaian, dan menanggapi kebijakan serta tindakan Israel yang melahirkan diskriminasi, ketidakadilan dan kejahatan masif. Operasi ini juga melambangkan intifada (pemberontakan perlawanan) nasional Palestina terhadap pendudukan Israel dan penderitaan yang terkait di Gaza dan Tepi Barat. Istilah "Thufan al Aqsha" dapat diterjemahkan sebagai "Banjir Al-Aqsa" atau "Banjir Al-Aqsa", yang melambangkan sifat kampanye perlawanan yang luar biasa dan kuat.

Serangan balik Israel hingga minggu pertama Oktober 2025 ini menewaskan sekitar 66.000 jiwa, dan melukai ribuan lainnya, dimana di dalamnya termasuk anak-anak, kaum perempuan, lansia, tenaga medis, guru, jurnalis, dan warga sipil non combatants lainnya.  Tak hanya nyawa yang hilang,  Israel juga menghancurkan fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, universitas, masjid, dan tempat tinggal warga-warga biasa. 

Gelombang pengungsian massal terjadi, walau untuk berpindah ke negeri lain juga amat sulit dan Israel memblokade seluruh pintu keluar Gaza dan negeri tetangga Mesir tidak cukup ramah untuk menampung para pengungsi dari Gaza. Walhasil, disamping genosida dan aksi pemusnahan etnis secara massal (extermination action), penyiksaan, kelaparan dan pengusiran massal telah terjadi, yang sepadan dengan kejahatan kepada kemanusiaan (crime against humanity) dari sisi hukum pidana internasional (international criminal law).

Maka, kejahatan Israel di Gaza (dan Palestina) tidak hanya Genosida, namun juga kejahatan kepada kemanusiaan (crime against humanity).  Bahkan bila dirunut sejak tahun 1948, awal berdirinya negara Israel secara ilegal dan awal pengusiran formal bangsa Palestina dari tanahnya sendiri (peristiwa Nakba 15 Mei 1948) maka paling tidak ada tujuh kejahatan serius Israel di Palestina, yaitu: (1) genosida; (2) kejahatan kepada kemanusiaan; (3) kejahatan perang (war crimes); (4) penjajahan (crime against peace); (5) pelanggaran Konvensi Jenewa 1949 tentang hukum humaniter; (6) terorisme negara (state terrorism) dan (7) kejahatan apartheid.

Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Genosida (genocide) adalah kejahatan yang amat serius di mata hukum pidana internasional (international criminal law).  Tergolong sebagai Kejahatan Berat terhadap Hak Asasi Manusia (grave breaches of human rights). Dan merupakan satu dari empat kejahatan serius yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma 1998 disamping Kejahatan Perang, Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan terhadap Perdamaian serta penjajahan.

Pasal 6 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa genosida adalah setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama, dengan cara : (a) Membunuh anggota kelompok; (b) Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (c) Dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan pada kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kehancuran fisiknya secara keseluruhan atau sebagian; (d)Memaksakan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok; (e ) Memindahkan secara paksa anak-anak suatu kelompok ke kelompok lain.

Pasal 7 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) adalah setiap Tindakan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan tersebut: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; (e ) Pemenjaraan atau perampasan kebebasan fisik berat lainnya yang melanggar aturan dasar hukum internasional; (f) Penyiksaan; (g) Perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara; (h) Penganiayaan terhadap kelompok atau kolektif tertentu atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana didefinisikan dalam paragraph 3, atau alasan lain yang secara universal diakui sebagai hal yang tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, sehubungan dengan tindakan apa pun yang dirujuk dalam paragraf ini atau kejahatan apa pun yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah; (i) Penghilangan paksa orang; (j) Kejahatan apartheid; (k) Tindakan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang secara sengaja menyebabkan penderitaan besar, atau cedera serius pada tubuh atau kesehatan mental atau fisik.

Beberapa anak-anak Palestina termasuk di antara lusinan orang yang terluka setelah serangan Israel terhadap sebuah rumah dekat daerah Souk Firas di Kota Gaza, Rabu (24/9/2025).

Sejak Oktober 2023, serangan Israel di Gaza telah menewaskan banyak jiwa dan akibatkan penderitaan kemanusiaan yang parah. Per 1 Oktober 2025, sekitar 66.148 warga Palestina telah tewas di Gaza akibat tindakan militer Israel, dengan mayoritas adalah warga sipil, termasuk banyak perempuan dan anak-anak. Lebih dari 168.700 orang telah terluka sejak konflik dimulai pada Oktober 2023 (Wafa News Agency, 01/10/ 2025).

Otoritas Kesehatan Palestina melaporkan lebih dari 50.000 warga Palestina tewas hingga Maret 2025 saja, dengan korban terus meningkat akibat serangan militer yang berkelanjutan (Aljazeera.com, 23/05/ 2025).  Data menunjukkan bahwa sekitar 80 persen kematian warga Palestina adalah warga sipil, dengan anak-anak mencakup sekitar 31 persen dari mereka yang tewas.

Penderitaan warga Gaza juga mencakup kematian tidak langsung akibat penyebab yang dapat dicegah seperti penyakit dan malnutrisi yang disebabkan oleh blokade dan penghancuran infrastruktur. Sekitar 2.580 warga sipil tewas saat berupaya menerima bantuan kemanusiaan, sementara lebih dari 18.900 lainnya terluka dalam insiden terkait bantuan. Ribuan warga Gaza masih terjebak di bawah reruntuhan, tidak dapat diakses oleh layanan penyelamatan dan medis.

Serangan Israel telah menargetkan wilayah padat penduduk sipil, rumah sakit, tempat penampungan, dan fasilitas kemanusiaan, yang memicu kecaman internasional atas skala kerusakan dan kerugian yang dialami warga sipil. Badan-badan PBB dan organisasi hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan tentang potensi kejahatan perang dan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional. Seluruh situasi ini telah digambarkan sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern. 

Kejahatan Apartheid

Kejahatan apartheid Israel di Palestina mengacu pada sistem penindasan yang dilembagakan dan dominasi rasial yang diberlakukan oleh Israel terhadap warga Palestina. Sistem ini berdampak pada warga Palestina yang tinggal di Israel, Wilayah Palestina yang Diduduki (Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur), dan pengungsi Palestina. Ciri-ciri utama sistem ini meliputi perampasan tanah dan properti secara besar-besaran, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, pembatasan pergerakan yang ketat, penolakan kewarganegaraan, dan diskriminasi sistematis.

Kebijakan dan praktik ini menciptakan rezim segregasi, perampasan, dan pengucilan yang kejam yang dialami warga Palestina sebagai kelompok ras yang diperlakukan lebih rendah. Amnesty International dan Human Rights Watch telah menggambarkan sistem ini sebagai apartheid—kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum internasional, yang secara khusus didefinisikan oleh Konvensi Apartheid dan Statuta Roma.

Apartheid mencakup tindakan-tindakan seperti pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, pemindahan paksa, penolakan hak-hak dasar termasuk kebebasan bergerak, proses hukum yang adil, dan berkumpul. Komunitas internasional dan badan-badan hukum seperti  Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah diminta untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas kejahatan-kejahatan ini. Sistem ini dipertahankan untuk menegakkan kontrol dan dominasi Israel atas Palestina, yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan konflik yang berkepanjangan di wilayah tersebut.

Terorisme Negara

Israel kerap menuduh pihak Palestina, utamanya HAMAS, sebagai teroris.  Padahal, sejatinya Israel lebih tepat disebut sebagai teroris sesungguhnya.  Karena telah melakukan terorisme negara di Palestina.

Israel telah melakukan terorisme negara terhadap warga Palestina. Tuduhan ini bermula dari operasi, kebijakan, dan praktik militer yang menargetkan warga sipil Palestina dan wilayah di Gaza dan Tepi Barat. Para kritikus menyoroti penggunaan kekuatan militer Israel yang berlebihan, perluasan permukiman, pembongkaran rumah, penangkapan sewenang-wenang, dan pembatasan pergerakan sebagai taktik yang merupakan terorisme negara yang bertujuan untuk mengendalikan dan menindas penduduk Palestina.

Bukti konkrit terorisme negara Israel adalah tingginya jumlah korban jiwa warga sipil di Gaza akibat pemboman Israel, yang digambarkan oleh beberapa pihak sebagai serangan yang disengaja untuk menimbulkan kehancuran dan ketakutan (terror and threat).  Serta pendudukan militer atas wilayah Palestina yang membatasi kehidupan sehari-hari dan kebebasan politik.

Perdana Menteri Qatar menyebut serangan Israel di Gaza sebagai "terorisme negara" menyusul serangan udara mematikan pada tahun 2025. Amnesty International dan komite khusus PBB telah melaporkan tindakan Israel yang merupakan kejahatan perang dan apartheid, menyoroti pelanggaran sistemik dan dampak yang tidak proporsional terhadap warga sipil Palestina, termasuk anak-anak dan pekerja kemanusiaan. Negara-negara yang telah mengutuk Israel sebagai pelaku terorisme negara antara lain Bolivia, Iran, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Suriah, Turki, dan Yaman.

Kejahatan Perang dan Pelanggaran Geneva Convention 1949

Pasal 8 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa kejahatan perang (war crimes) mencakup pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949 serta pelanggaran serius lainnya terhadap hukum internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata.

Termasuk dalam definisi di atas adalah : (1) Pembunuhan yang disengaja; (2) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi; (3) Dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang hebat atau cedera serius pada tubuh atau Kesehatan; (4) Penghancuran dan perampasan properti secara luas yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer; (5) Memaksa tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya untuk bertugas di pasukan musuh; (6) Dengan sengaja merampas hak atas pengadilan yang adil bagi tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi; (7) Deportasi, pemindahan, atau penahanan yang melanggar hukum; (8) Menyandera;  dan pelanggaran serius lainnya meliputi: (9) Secara sengaja mengarahkan serangan terhadap warga sipil atau objek sipil yang tidak berpartisipasi dalam permusuhan; (10) Serangan terhadap personel atau instalasi yang terlibat dalam misi kemanusiaan atau penjaga perdamaian; (11) Melancarkan serangan dengan pengetahuan bahwa akan terjadi korban sipil yang berlebihan atau kerusakan properti sipil; (12) Menyerang kota atau bangunan yang tidak dipertahankan; (13) Membunuh atau melukai kombatan yang telah menyerah atau hors de combat; (14) Penyalahgunaan bendera gencatan senjata atau lambang musuh yang tidak semestinya; (15) Memindahkan sebagian wilayah kekuasaan pendudukan penduduk sipil ke wilayah pendudukan atau mendeportasi penduduk yang diduduki.

Terdapat dokumentasi dan laporan internasional yang substansial yang menunjukkan bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa di wilayah Palestina, khususnya di Gaza, selama konflik yang sedang berlangsung.

Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB telah menemukan bahwa Israel terlibat dalam tindakan yang merupakan genosida terhadap warga Palestina di Gaza sejak konflik meningkat pada tahun 2023. Laporan tersebut menyoroti berbagai tindakan genosida, termasuk membunuh warga sipil, menyebabkan cedera psikologis dan fisik yang serius, sengaja menciptakan kondisi yang membahayakan kelangsungan hidup kelompok Palestina, dan menghalangi kelahiran dengan menyerang fasilitas medis seperti klinik fertilitas.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UN Human Rights Council)  melaporkan bahwa serangan Israel telah menghancurkan sekitar 90 persen sekolah dan universitas di Gaza, seringkali tanpa peringatan yang memadai kepada warga sipil, yang merupakan kejahatan perang seperti kerugian yang tidak proporsional terhadap warga sipil dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemusnahan. Tindakan-tindakan ini melanggar prinsip-prinsip pembedaan dan proporsionalitas berdasarkan hukum humaniter internasional dan Konvensi Jenewa 1949.

Bahkan, di internal Israel sendiri, Organisasi hak asasi manusia Israel, B'Tselem, dan Physicians for Human Rights Israel juga telah mendokumentasikan kampanye Israel sebagai genosida, menuduh Israel melakukan kejahatan sistemik berdasarkan hukum internasional, termasuk pemindahan paksa dan apartheid di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki.

Tuduhan kejahatan perang lainnya termasuk pengeboman tanpa pandang bulu di wilayah sipil yang padat penduduk, kebijakan blokade yang menyebabkan krisis kemanusiaan, penghancuran infrastruktur penting, dan serangan terhadap situs-situs yang dilindungi, yang semuanya melanggar Konvensi Jenewa dan hukum humaniter internasional kebiasaan.

Kejahatan Penjajahan

Daftar terakhir dari tujuh kejahatan Israel adalah kejahatan penjahatan alias kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace).  

"Kejahatan terhadap perdamaian" adalah konsep hukum yang didefinisikan dalam hukum internasional, khususnya dalam Pengadilan Nuremberg setelah Perang Dunia II dan tercermin dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional 1998. Konsep ini merujuk pada perencanaan, persiapan, inisiasi, atau pengerahan perang agresi atau perang yang melanggar perjanjian internasional.

Statuta Roma 1998 memasukkan kejahatan agresi sebagai salah satu kejahatan internasional inti, yang juga disebut sebagai "kejahatan terhadap perdamaian." Namun, definisi dan ketentuan rinci untuk menuntut kejahatan agresi diadopsi kemudian pada Konferensi Peninjauan Kampala 2010.

Tentara Israel menghancurkan seluruh blok pemukiman di kamp Jabalia, sebelah utara Jalur Gaza, akhir Agustus 2025.

Kejahatan agresi berarti perencanaan, persiapan, inisiasi, atau pelaksanaan tindakan agresi oleh seseorang yang secara efektif mengendalikan atau mengarahkan tindakan politik atau militer suatu negara.  "Tindakan agresi" adalah penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan, integritas teritorial, atau kemerdekaan politik negara lain, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan agresi tertentu meliputi invasi, pendudukan militer, aneksasi dengan kekerasan, pemboman, blokade pelabuhan, dan pelanggaran serius lainnya terhadap kedaulatan suatu negara.

Kejahatan ini dianggap sebagai "kejahatan internasional tertinggi" karena mencakup inisiasi dan pengerahan perang agresi, yang melanggar perdamaian dan keamanan internasional.

Meskipun istilah "kejahatan terhadap perdamaian" lebih jarang digunakan dibandingkan kejahatan perang (war crimes) atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), beberapa pakar dan organisasi HAM berpendapat bahwa agresi militer Israel yang berkelanjutan, kebijakan pendudukan, dan operasi militer skala besar di wilayah Palestina, terutama Gaza, dapat dianggap sebagai kejahatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kekuatan yang berkelanjutan dan disengaja dengan cara yang melanggar prinsip-prinsip Piagam PBB 1945 yang melarang ancaman atau penggunaan kekuatan kecuali untuk membela diri atau dengan izin Dewan Keamanan (Security Council) PBB.

Kampanye militer ekstensif pemerintah Israel, kebijakan blokade, pemindahan paksa penduduk Palestina, penghancuran infrastruktur sipil, dan kebijakan yang dianggap sebagai apartheid dan pembersihan etnis telah dijelaskan oleh Asosiasi Internasional Cendekiawan Genosida (IAGS) dan badan-badan PBB sebagai tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindakan-tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap perdamaian dalam hal memulai dan mempertahankan pendudukan dan konflik ilegal.

Jangan Gagal Paham

Maka mari kita jangan gagal paham. Kejahatan Israel di Palestina tidak dimulai sejak Oktober 2023 namun sudah sejak tahun 1948. Bahkan sebelum negara Israel berdiri sejak 14 Mei 1948.   Dan ini bukanlah konflik, namun juga adalah penjajahan (crime against peace), genosida, kejahatan kepada kemanusiaan, terrorisme negara, kejahatan apartheid, kejahatan perang dan penistaan terhadap hukum humaniter/Konvensi Geneva 1949. Lebih jauh lagi, isu Israel vs Palestina bukanlah isu Yahudi vs Islam, namun lebih pada kezhaliman Zionis Israel terhadap warga Palestina yang berlangsung terstruktur dalam banyak dekade.  Dimana, banyak warga Yahudi dan Lembaga-lembaga HAM berafiliasi Yahudi sendiri yang justru turut menentang kesadisan Zionis Israel tersebut, alih-alih membela Benjamin Netanyahu dan kelompoknya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |