Kontroversi Penahanan Mahasiswa ITB Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi

18 hours ago 10

BADAN Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menahan mahasiswa Institut Teknologi Bandung berinisial SSS di tempat kosnya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa, 6 Mei 2025. Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu adalah pengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo atau Jokowi berciuman dengan bantuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Direktur Komunikasi dan Humas ITB Nurlaela Arief mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan orang tua SSS. “Orang tua dari mahasiswi sudah datang ke ITB dan menyatakan permintaan maaf,” ujarnya dalam keterangan resminya pada Jumat, 9 Mei 2025.

Adapun Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Erdi A. Chaniago mengonfirmasi penangkapan mahasiswa ITB tersebut. “Iya benar bahwa seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses,” kata Erdi ketika dikonfirmasi, Jumat.

Polisi menjerat SSS dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur tentang kesusilaan. “Saat ini masih dalam proses penyidikan,” kata dia.

Penangkapan dan penahanan pengunggah meme Prabowo-Jokowi itu mendapat kritik dari sejumlah kalangan, termasuk dari organisasi masyarakat sipil. Sebagian dari mereka pun mengkritik penggunaan pasal kesusilaan UU ITE terhadap mahasiswa ITB tersebut.

Ahli Hukum: Penahanan Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi Berlebihan dan Konyol

Sejumlah ahli hukum menilai penangkapan mahasiswa ITB yang mengunggah meme Prabowo-Jokowi itu tidak tepat. “Penahanan mahasiswi ITB itu tindakan berlebihan dan konyol,” kata pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dalam keterangannya pada Ahad, 11 Mei 2025.

Dia menjelaskan Prabowo dan Jokowi tidak lagi bisa dipandang dan ditempatkan sebagai pribadi. Menurut dia, keduanya sudah menyatu menjadi institusi publik. “Karena itu, penangkapan dan penahanan terhadap mahasiswi tersebut, di samping berlebihan, juga telah melukai demokrasi,” tuturnya.

Abdul Fickar mengatakan, dalam kasus meme Prabowo-Jokowi, polisi sebagai penegak hukum lebai atau berlebihan. Selain itu, juga tidak mengerti demokrasi. “Saya mengimbau Presiden Prabowo menegur Kepolisian untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintahan Prabowo antidemokrasi,” ujarnya.

Sementara itu pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengatakan meme bisa dijerat UU ITE. Namun tergantung isi memenya. Jika memuat kesusilaan, berpotensi melanggar beleid tersebut. “Namun untuk kasus ini (meme Prabowo-Jokowi), saya pikir tidak perlu sampai ke ranah pidana ya,” tutur Orin saat dihubungi lewat pesan pendek pada Ahad.

Menurut dia, aparat penegak hukum seharusnya tidak perlu terlalu agresif merespons meme itu ke ranah pidana. Sebab, akan berdampak buruk terhadap kebebasan dan demokrasi.

“Selain itu, penggunaan hukum pidana juga sebaiknya jadi instrumen terakhir atau ultimum remedium,” ujar Orin. Ini lantaran derajat kejahatannya juga perlu dipertimbangkan berat ringannya, serta dampaknya.

Karena itu, dia mewanti-wanti jangan sampai penegakan hukum—khususnya kasus-kasus dengan karakteristik serupa—lebih menguras perhatian penegak hukum dan biaya penegakan hukum lainnya, daripada kemanfaatannya dalam penggunaan hukum pidana. Sebab, hukum pidana itu ketika seseorang diberikan sanksi, misalnya penjara, negara yang akan menanggungnya.

“Padahal, kejahatan itu masih bisa dibina dengan upaya-upaya persuasi lain, peringatan, pembinaan. Tidak perlu sampai ke ranah penjatuhan sanksi pidana,” kata dia.

YLBHI: Penangkapan Mahasiswa ITB Menyalahi KUHP dan UU ITE

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan penangkapan mahasiswa ITB yang mengunggah meme Prabowo-Jokowi telah menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE.

Isnur menuturkan meme yang diunggah mahasiswa ITB itu adalah bentuk ekspresi kritik terhadap isu matahari kembar, di mana kepemimpinan Prabowo sebagai Kepala Negara masih dibayangi oleh pengaruh Jokowi. “Ini bagian dari satire, gambaran di mana Prabowo dan Jokowi dianggap sebagai dua matahari yang bersatu,” kata dia kepada Tempo pada Sabtu, 10 Mei 2025.

Dengan demikian, kata dia, penangkapan itu telah menyalahi aturan karena lembaga negara atau pejabat publik bukanlah entitas yang reputasinya dilindungi oleh UU ITE. Lagi pula, Isnur menjelaskan pasal tentang penghinaan sudah dikeluarkan dari UU seiring dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan keributan di media sosial bukan tindak pidana.

“Jadi ini polisi tentu kita melihat ini bagian dari tindakan-tindakan yang berlebihan, tindakan-tindakan yang semena-mena," katanya. Isnur menilai tindakan ini berpotensi memunculkan ketakutan bagi masyarakat mengkritik pemerintah.

Melalui putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa, 29 April 2025, MK menyatakan tindakan menyebarkan berita bohong atau hoaks menggunakan sarana teknologi informasi dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber. Itu adalah penjelasan MK atas makna kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

Isnur menyebutkan polisi juga tidak bisa menahan mahasiswa itu dengan alasan meme yang diunggahnya mengandung unsur asusila. Alasannya, Pasal 27 Ayat 1 tentang kesusilaan dalam UU ITE belum memberikan penjelasan detail mengenai tindak asusila seperti apa yang ingin dijerat. 

Sehingga, Isnur menilai meme Prabowo-Jokowi berciuman yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan itu juga belum jelas statusnya. “Apakah itu tindakan asusila atau tindakan satire dalam bentuk seni bentuk AI? Itu tidak jelas, dan ini bentrok dengan ketentuan di KUHP,” katanya. 

Berbekal pertimbangan tersebut, Isnur berkesimpulan terdapat banyak kejanggalan dan pelanggaran  dalam proses penangkapan. Dia meminta Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo membebaskan SSS dan membenahi internal polri. “Mengevaluasi proses penegakan hukum terhadap mahasiswa ITB ini,” ujarnya.

Amnesty: Penangkapan SSS Bertentangan dengan Putusan MK

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai penangkapan pengunggah meme Prabowo-Jokowi adalah kriminalisasi kebebasan berekspresi. Usman menyebutkan penangkapan SSS mencerminkan perilaku represif pemerintah dalam membungkam suara-suara kritis. “Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan,” tuturnya melalui keterangan tertulis pada Jumat, 9 Mei 2025.

Menurut Usman, ini bukan pertama kalinya Polri maupun pemerintah menggunakan cara ini untuk membungkam kritik yang dilayangkan masyarakat sipil. Sepanjang lima tahun terakhir, kata dia, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi terhadap 563 korban. Mereka semua dijerat dengan UU ITE. 

“Pelaku kriminalisasi didominasi oleh patroli siber Polri sebanyak 259 kasus dengan 271 korban dan pemerintah daerah sebanyak 63 kasus dengan 68 korban,” ucapnya.

Selain menunjukan sifat represif, Usman menambahkan Polri juga telah melanggar putusan MK, yang menyatakan keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana. “Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons represif di ruang publik,” ujarnya.

Vedro Imanuel Girsang, Amelia Rahima Sari, Dede Leni Mardianti, dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Sejarah Anarko di Indonesia, Varian, dan Kiprahnya

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |