Latuharhary, RMS, dan Tabrakan Mobil Lapis Baja Belanda

4 hours ago 9
Kamp untuk menahan anggota KNIL yang menjadi anggota Repuplik Maluku Selatan (RMS) di Maluku. Di Maluku, bahasa Belanda menjadi bahasa resmi dan di kamp ini dipasang kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Sumber: majalah de stem van ambon

Johanes Latuharhary mengalami luka-luka akibat kecelakaan di Yogyakarta. Latuharhary merupakan wakil republik Indonesia di United Nations Commision for Indonesia (UNCI).

Mobil berpelat UNCI yang ditumpangi Latuharhary mengalami kecelakaan saat menuju bandara, untuk pulang ke Jakarta. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjabat sebagai menteri pertahanan, seperti diberitakan De Tijd Mei 1949, memerintahkan pengusutan tuntas kecelakaan itu, sebab tabrakan itu melibatkan mobil lapis baja Belanda.

UNCI ada di Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, UNCI yang diketuai Belgia, pernah meminta Repubik Indonesia agar menghentikan operasi terhadap anggota Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

UNCI dibentuk Dewan Keamanan PBB pada 1947 setelah Belanda melakukan agresi militer yang pertama. Anggota UNCI terdiri dari tiga negara, yaitu Belgia, Amerika Serikat, dan Australia.

Sri Sultan HB IX menyatakan, setelah penarikan pasukan bersenjata Belanda, setiap orang, termasuk mereka yang telah bertugas di pemerintahan RIS, dijamin keselamatan jiwa dan raganya. Tanpa memandang ras atau agama.

“Perhatian khusus akan diberikan untuk memastikan tidak ada tindakan balasan terhadap siapa pun. Setelah pemulihan pemerintahan Republik di Yogyakarta, setiap orang memiliki kesempatan untuk meninggalkan Yogyakarta tanpa hambatan,” tulis De Tijd mengenai pernyataan Sri Sultan HB IX.

Tak ada informasi lanjutan mengenai pemeriksaan kecelakaan itu. Namun, pada 1950, setelah RIS menjadi RI, Latuharhary menjalankan tugas sebagai gubernur Maluku.

Latuharhary sudah ditunjuk sebagai gubernur Maluku di sidang PPKI pada 1945. Namun, Belanda sudah menguasai Maluku, sehingga Latuharhary baru bisa menjalankan tugasnya pada 1950.

Militer pun segera melakukan aksi pembersihan RMS di Maluku. Pemerintah Indonesia pun menolak permintaan UNCI untuk menghentikan operasi itu.

UNCI dianggap tak boleh ikut campur urusan internal Republik Indonesia, sebab tugas UNCI hanya untuk mengawasi pelaksanaan keputusan KMB, di antaranya penyerahan wilayah dari Belanda ke Indonesia.

RMS dikejar tentara Indonesia hingga ke hutan-hutan. Pada 11 Januari 1954 pun, Presiden RMS Chris Soumokil pun disebut-sebut menyatakan akan menyerahkan diri.

Pada Mei 1954, Antara menerbitkan berita yang sama. Seperti dikutip majalah De Stem van Ambon, Antara menyatakan, "Gubernur Maluku, Mr Latoeharhary, memberi tahu pers bahwa Mr Soumokil, yang saat ini bersembunyi di pedalaman Seram, telah memutuskan untuk menyerah, dengan syarat pemerintah Indonesia menjamin hidupnya."

Namun, rupanya, penyerahan diri itu tidak terjadi hingga Latuharhary menyelesaikan tugas sebagai gubernur. Soumokil baru menyerahkan diri pada 1963.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |