Catatan Cak AT: Kucing Malu-maluin

2 hours ago 7
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Kucing Malu-maluin. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kuala Lumpur kini tampak seperti stadion besar yang lampunya padam karena disambar petir kejujuran. Bukan karena hujan tropis, tapi karena badai moral yang datang dari markas FIFA di Zürich. Di sana, tujuh nama pemain naturalisasi Malaysia dibacakan satu per satu — bukan sebagai pahlawan lapangan hijau, tapi sebagai tersangka pemalsuan dokumen.

Ada tujuh “Harimau” impor yang ternyata lebih cocok disebut "Harimau sewaan": Gabriel Felipe Arrocha dan Jon Irazábal Iraurgui dari Spanyol, Facundo Tomás Garcés, Rodrigo Julián Holgado, dan Imanol Javier Machuca dari Argentina, João Vitor Brandão Figueiredo dari Brasil, serta Hector Alejandro Hevel Serrano dari Belanda.

Mereka mengaku atau disuruh mengaku punya darah Malaysia lewat kakek atau nenek. Tapi setelah FIFA membuka arsip sipil dari Spanyol sampai São Paulo, dari Buenos Aires hingga Amsterdam, ternyata tak ada satu pun nama leluhur mereka tercatat pernah lahir di Malaysia. Yang ada hanyalah kreativitas administratif kelas dunia: forgery with passion.

Baca juga: Patrick Kluivert: Laga Melawan Arab Saudi Seperti Final

Semua bermula pada laga kualifikasi Piala Asia 2027 melawan Vietnam, Juni lalu. Malaysia menang 4-0 dengan penuh semangat nasionalisme instan — semangat yang ternyata disponsori oleh printer dokumen palsu.

Beberapa pihak mulai curiga: kok bisa banyak pemain baru mendadak “berdarah Malaysia” tanpa pernah makan rendang Negeri Sembilan?

Laporan resmi pun masuk ke FIFA. Bukan laporan nyinyir, tapi aduan serius soal kelayakan tujuh pemain tersebut. Salah satu yang pertama menggugat adalah klub Spanyol, Alavés, yang melaporkan pemain mereka Facundo Garcés.

Baca juga: Depok Tekankan Pentingnya Perkuat UKS untuk Wujudkan Generasi Sehat

Dari situ, benang kusut pun ditarik: ternyata dokumen kelahiran para kakek dan nenek yang dijadikan bukti keturunan, semua palsu.

FIFA dengan teliti melakukan cross-check lintas benua. Mereka mendatangi kantor catatan sipil di Argentina, Spanyol, Brasil, dan Belanda. Hasilnya? Nol besar.

Tak ada kakek-nenek mereka dari Kuala Lumpur atau Negeri Sembilan, dan tak ada satu pun surat lahir dari Malaysia. Yang ada hanyalah ilusi asal-usul — silsilah buatan tangan birokrat kreatif.

Dan akhirnya, keputusan pun turun seperti vonis dari langit sepakbola: “Ini murni kecurangan,” kata Jorge Ivan Palacio, Ketua Komite Disiplin FIFA. Tak ada bahasa diplomatis, tak ada bumbu PR. Murni dan sederhana: curang.

Baca juga: Hytera Mendukung Komunikasi Tanpa Hambatan di Jakarta International Championship 2025

Federasi Sepakbola Malaysia (FAM) pun didenda 350 ribu franc Swiss (Rp6,4 miliar) — dan tujuh pemain masing-masing didenda 2.000 franc Swiss (Rp36 juta). Lebih parah lagi, ketujuh pemain dilarang beraktivitas di dunia sepakbola selama 12 bulan. Bayangkan, setahun tanpa bola, tanpa tepuk tangan — hanya ditemani tumpukan kertas legalisasi dan rasa malu.

Namun FAM bukannya menunduk, malah menatap kamera dan berkata penuh keyakinan: “Kami akan banding. Semua proses dilakukan dengan itikad baik dan transparansi penuh.” Ah, transparansi penuh! Kata yang indah, walau kadang berarti “dokumen kami begitu transparan sampai bisa tembus pandang oleh FIFA.”

Kasus ini seolah mengingatkan dunia bahwa dalam olahraga, “berjuang” dan “berkelit” hanya beda satu huruf, tapi hasilnya bisa berjarak sejauh langit dan neraka sportivitas.

FIFA punya aturan jelas: pemain hanya boleh membela negara jika lahir di sana, atau punya orangtua/kakek-nenek dari negara itu, atau tinggal minimal lima tahun setelah usia 18. Dan semua itu harus dibuktikan dengan dokumen asli, bukan silsilah kreatif yang dicetak dari imajinasi nasionalisme.

Baca juga: FAM Terbukti Bohongi FIFA, Akta Lahir Tujuh Pemain Naturalisasi Dipalsukan

Kini, reputasi “Harimau Malaya” tercoreng oleh tinta hitam birokrasi. Harimau yang mestinya gagah mengaum di lapangan, kini terdengar seperti kucing terperangkap di ruang arsip FIFA. Ironinya, mereka menang melawan Vietnam dengan skor 4-0, tapi kalah telak dalam pertandingan moral dengan skor 0-7.

Tentu, kasus ini bukan hanya soal Malaysia. Ia cermin bagi semua bangsa yang tergoda mengejar prestasi di bidang apa saja lewat jalur ekspres. Dalam dunia di mana semua ingin cepat menang, kejujuran sering tampak seperti pemain cadangan yang tak pernah dipanggil turun ke lapangan. Padahal, hanya ia yang bisa menjaga permainan tetap suci dari tipu daya.

Mungkin sudah saatnya Malaysia menanggalkan kostum “tim cepat jadi” dan kembali ke rumput hijau yang asli — tempat bocah-bocah kampung, anak-cucu Tuan-Puan, menendang bola plastik dengan kaki telanjang dan mimpi besar. Sebab sepakbola sejati bukan soal paspor, tapi soal peluh dan perjuangan.

Dan siapa tahu, dari rasa malu nasional inilah justru lahir kebangkitan baru: kebangkitan sepakbola yang jujur, yang tak butuh darah palsu untuk mengalirkan semangat juara. Sebab kemenangan sejati, bukan ketika papan skor berpihak pada kita, tapi ketika hati nurani kita tidak perlu disembunyikan di balik dokumen palsu..(***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 8/10/2025

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |