Penggugat UU TNI: Dari Mahasiswa Hingga Putri Gus Dur

21 hours ago 12

TEMPO.CO, Jakarta - Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ternyata mencetak sejarah baru. Undang-undang ini menuai gugatan paling banyak dalam sejarah Mahkamah Konstitusi.

Hingga Jumat, 9 Mei 2025, jumlah penggugat UU TNI sudah mencapai 14. "Ini pertama dalam sejarah Mahkamah Konstitusi," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra, Jumat, 9 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penggugat UU TNI berasal dari berbagai kalangan mulai dari kelompok masyarakat sipil, mahasiswa, hingga putri Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wulandari Wahid. Pemeriksaan pendahuluan atas permohonan uji materiil atas UU TNI tersebut sudah dilakukan Mahkamah Konstitusi, Jumat 9 Mei 2025.

Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap 11 gugatan uji formil dan materi UU TNI yang dihelat dalam tiga panel dan waktu yang bersamaan, yaitu pada pukul 09.00 WIB. Pada sidang pemeriksaan, Saldi Isra menyarankan para pemohon dari mahasiswa berkas permohonan uji materiil agar bisa saling melengkapi argumentasi, bukti, dan dalil.

Berikut para pemohon uji materi UU TNI yang sudah mulai disidangkan di Mahkamah Konstitusi:

1.  Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 

Kuasa hukum pemohon mahasiswa FHUI, Abu Rizal Biladina mengatakan gugatan yang diajukan karena menilai proses pembahasan terhadap UU TNI yang inkonstitusional dan janggal yang dapat dilihat pada bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengabaikan tata cara pembentukkan dan penyusunan aturan perundang-undangan yang wajib mematuhi asas salah satunya asas keterbukaan sebagaimana amanat Undang-Undang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan atau P3.  "Sejak pembahasan hingga setelah disahkan, naskah akademis UU TNI tidak dipublikasikan, sehingga kami menilai jelas ini adalah pelanggaran," ujar Abu Rizal.

2. Gugatan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)

Empat mahasiswa Fakultas Hukum UGM yakni Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan mengajukan permohonan uji formil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat 2 Mei dan uji materi pada, Kamis, 8 Mei 2025 karena menilai isi dan substansi dari UU TNI masih problematik dan merugikan masyarakat umum.

Dalam permohonan uji materi terhadap UU TNI, Imam Maulana mengatakan ada tiga pasal yang dipersoalkan. Di antaranya ialah Pasal 7 ayat 2 angka 9 tentang tugas pokok TNI di operasi militer selain perang membantu tugas pemerintahan daerah mengatasi masalah akibat pemogokan yang memperluas kewenangan TNI di luar fungsi pertahanan. “Mengatasi masalah akibat pemogokan tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman atau urusan kewenangan TNI,” ujar Imam dalam keterangan tertulis pada Kamis, 8 Mei 2025.

Kemudian, Pasal 7 ayat 2 angka 15 yang mengandung frasa “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber” yang bersifat multitafsir sehingga tercipta ruang ketidakpastian. "Kami tidak mengetahui secara pasti batasan dan sejauh mana keterlibatan TNI diperbolehkan dalam ranah siber,” ucap Imam.

Pasal terakhir yang dinilai problematik dan merugikan masyarakat ialah Pasal 47 ayat 1 yang mengatur tentang perluasan tentara dalam kementerian atau lembaga sipil. Menurut Imam, aturan itu menimbulkan dualisme fungsi prajurit aktif sebagai alat negara dan lembaga negara di waktu bersamaan. 

3. Putri Gus Dur dan Koalisi Masyarakat Sipil

Inayah Wulandari Wahid bersama dua pemohon lainnya mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti dan mahasiswa bernama Eva mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras dan Imparsial juga menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi ada Rabu, 7 Mei 2025.  “Kami mewakili tiga pemohon mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 3 tahun 2025 tentang TNI,” kata Wakil Dirktur Imparsial Hussein Ahmad dan anggota koalisi di Gedung MK.

Hussein mengatakan UU TNI menghidupkan dwifungsi militer terutama di Pasal 7 tentang penambahan operasi militer selain perang yang memberi ruang pelibatan TNI dalam ruang sipil. “Kalau tidak diatur dengan baik, dwifungsi bisa kembali bangkit,” kata Hussein.

Kuasa hukum koalisi sipil, Viola Reininda mengatakan revisi UU TNI melanggar janji politik dan hukum dari reformasi yang mengamanatkan militer tidak ikut campur dalam politik. Viola yang juga menjadi Manajer Program Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebutkan pembahasan revisi UU TNI turut melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan dengan baik. “Dalam proses pembahasannya, surat presiden membahas revisi UU TNI keluar lebih dahulu sebelum didaftarkan dalam Prolegnas 2025,” kata Viola.

Sedangkan pemohon gugatan Fatia Maulidiyanti menyampaikan kekhawatiran keterlibatan militer membuat banyak terjadi pelanggaran. “Kami takut bila terus dilaksanakan, situasi akan semakin buruk,” kata dia.

4. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran juga tidak ketinggalan mengajukan permohonan uji formil UU TNI yang telah teregistrasi dengan nomor 73/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025. Permohonan tersebut diajukan oleh Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Muhammad Akmal Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.

“Kami ingin memastikan proses pembentukan undang-undang dijalankan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang telah diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Rasyid.

Para mahasiswa UNPAD yang menggugat UU TNI berharap langkah yang diambil dapat mendorong akuntabilitas legislasi di Indonesia dan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

5. Mahasiswa Batam

Enam mahasiswa Batam, Hidayatuddin sebagai pemohon, Respati Hadinata, serta empat kuasa hukumnya, yakni Risky Kurniawan, Albert Ola Masan Setiawan Muda, Jamaludin Lobang, dan Otniel Raja Maruli Situmorang juga mengajukan uji materiil terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi.

Risky Kurniawan sebagai Student for Judicial Review (SJR) mengatakan pihaknya telah menerima Akta Pengajuan Pemohon Nomor 68/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025 dan Akta Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 58/PUU/PAN.MK/ARPK/04/2025. Risky menuturkan Mahkamah Konstitusi akan menetapkan hari sidang pertama paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat, sesuai dengan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.

Selain meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan UU TNI inkonstitusional, para pemohon menuntut ganti rugi sebesar Rp 50 miliar dari DPR, Rp 25 miliar dari presiden, dan Rp 5 miliar dari Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk disetor ke kas negara serta mengajukan dwangsom atau uang paksa harian jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak dijalankan, masing-masing Rp 25 miliar untuk DPR, Rp 12,5 miliar untuk presiden, dan Rp 2,5 miliar untuk Badan Legislatif DPR.

Andi Adam Faturahman dan Sapto Yunus berkontribusi dalam artikel ini.

Pilihan Editor:Rektor UI Pastikan Uang Pangkal Bisa Nol Rupiah untuk Mahasiswa Tak Mampu

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |