YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin sering terjadi belakangan ini, dikhawatirkan bakal memberikan citra yang kurang baik bagi Indonesia.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), tingkat pengangguran di Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Hingga April 2024, jumlah pengangguran di Tanah Air mencapai 5,2 persen dari total penduduk sebanyak 279 juta jiwa. Angka ini hanya turun tipis 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang berada di angka 5,3 persen.
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, menilai pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan layak. Menurutnya, industrialisasi menjadi kunci utama dalam menyerap tenaga kerja secara berkelanjutan.
“Industri dalam negeri yang tumbuh akan menciptakan sektor formal yang kuat. Perusahaan baru bermunculan, lapangan kerja bertambah, dan pengangguran bisa ditekan. Industrialisasi itulah yang perlu didorong negara,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (1/5/2025).
Namun demikian, ia mengingatkan, industrialisasi saja tidak cukup. Perlu kepastian hukum dan perlindungan ketenagakerjaan yang memadai agar pekerja tidak terjebak dalam situasi rentan. Saat ini, kata Nabiyla, sebagian besar tenaga kerja Indonesia justru berada di sektor informal seperti UMKM dan gig economy yang minim perlindungan dan upah layak.
“Sektor informal memang menyerap tenaga kerja, tapi belum tentu memberikan jaminan sosial dan pendapatan yang layak. Karena itu, negara harus hadir lewat regulasi yang berpihak pada perlindungan pekerja,” tegasnya.
Ia menambahkan, hukum ketenagakerjaan semestinya berfungsi sebagai penyeimbang dalam relasi kerja antara perusahaan dan pekerja yang tidak setara secara posisi. Selain itu, untuk menarik investor dan memperkuat sektor formal, perlu upaya lain seperti penyederhanaan birokrasi pendirian usaha serta pemberian insentif pajak yang rasional.
Terkait keberadaan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diklaim mampu membuka banyak lapangan kerja, Nabiyla justru menyampaikan keraguannya. Menurutnya, hingga kini belum terlihat dampak signifikan dalam menciptakan pekerjaan, khususnya di sektor formal.
“Yang terlihat justru kemudahan melakukan PHK, kontrak kerja yang diperpanjang tanpa kepastian, serta kecenderungan meningkatnya pekerja kontrak ketimbang tetap. Dalam klaster ketenagakerjaan, dampaknya masih lebih banyak negatif,” pungkasnya.