Kritik Program Wajib Militer Pelajar, Komnas HAM: Langgar Hak Anak, Salahgunakan Peran TNI

18 hours ago 9

Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, saat memberikan keterangan pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (2/5/2025) | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan  “wajib militer pelajar” sebagai upaya menekan kenakalan remaja yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memunculkan kontroversi, meski sudah dijalankan.

Program tersebut juga  menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk Komnas HAM yang menilai kebijakan tersebut melanggar hak-hak anak dan menyalahi kewenangan TNI.

Program yang diluncurkan bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Jumat (2/5/2025), digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Melalui program tersebut, pelajar yang dianggap bermasalah akan dijemput langsung oleh anggota TNI dari rumah masing-masing untuk mengikuti pelatihan selama enam bulan di barak militer. Pelatihan tersebut difokuskan pada pembentukan karakter dan disiplin, dengan melibatkan personel TNI dan Polri sebagai pelatih.

“Orangtua tidak sanggup mendidik,” ujar Dedi dalam konferensi pers peluncuran program.

Namun, pendekatan militeristik ini memantik reaksi keras. Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, menegaskan bahwa TNI tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pendidikan dalam bentuk wajib militer kepada pelajar.

“Itu bukan kewenangan TNI melakukan edukasi-edukasi civic education,” tegas Atnike saat ditemui di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).

Menurut Atnike, pelibatan TNI dalam dunia pendidikan hanya bisa dibenarkan jika sebatas pengenalan profesi, seperti kunjungan ke markas militer atau lembaga publik lainnya. Bila bentuknya berupa pelatihan militer, apalagi sebagai hukuman, hal tersebut dinilai keliru dan melanggar prinsip-prinsip hak anak.

“Pendidikan karier ke markas TNI, rumah sakit, atau tempat kerja itu boleh saja. Tapi kalau dalam bentuk pendidikan militer, itu mungkin tidak tepat,” katanya.

Ia juga memperingatkan bahwa membawa anak-anak ke barak militer sebagai bentuk hukuman merupakan praktik yang menyalahi prosedur hukum. “Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur,” ujar Atnike.

Kebijakan ini tak hanya menuai sorotan dari lembaga hak asasi, tapi juga menjadi sorotan publik di tengah kekhawatiran akan kembalinya peran ganda militer dalam kehidupan sipil. Kekhawatiran ini muncul bersamaan dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang memperluas peran tentara di luar ranah pertahanan.

Revisi UU tersebut mencakup penambahan tugas TNI dari 14 menjadi 16 fungsi, termasuk penanganan ancaman siber, serta membuka lebih banyak peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil. Selain itu, usia pensiun perwira tinggi juga diperpanjang hingga 65 tahun.

Banyak pihak khawatir bahwa perluasan peran militer di ranah sipil ini akan menghidupkan kembali bayang-bayang dwifungsi ABRI, yang pernah menjadi bagian dari sejarah kelam masa Orde Baru.

Polemik program wajib militer pelajar pun belum mereda. Sementara sejumlah pihak mendukung langkah tegas demi menekan kenakalan remaja, kelompok pemerhati hak anak dan demokrasi menilai pendekatan koersif justru berpotensi mencederai prinsip pendidikan dan perlindungan anak yang dijamin oleh konstitusi.

www.tribunnews.com

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |