Oleh: Buya Anwar Abbas*)
Terjadinya polusi dan kerusakan di darat, laut, dan udara, menurut Sjafruddin Prawiranegara bukanlah lantaran banyaknya penghuni bumi, tetapi merosotnya akhlak dan moralitas manusia. Demikian pandangan seorang negarawan yang juga ketua (baca: presiden) Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan pernah menjadi gubernur Bank Indonesia pertama (1953-1958) itu.
Sjafruddin Prawiranegara memandang, keadaan destruktif itu terjadi lantaran tujuan hidup manusia tidak lagi untuk beribadah dan mengabdi kepada Tuhan, melainkan kesenangan semata dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Itu pun diraih dengan cara menggunakan tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Istilahnya, serakahnomic. Dalam ilmu ekonomi, ini pun biasa disebut sebagai motif ekonomi.
Jadi, menurut Sjafruddin, motif ekonomi yang mencerminkan hawa nafsu itu telah mendorong manusia untuk menjadi rakus dan tamak. Maka dari itu, masalah ekonomi jika dikelola hanya berdasarkan motif ekonomi, yang akan terbentuk kemudian bukanlah masyarakat yang baik dan beradab, tetapi masyarakat yang biadab. Sebab, mereka tidak lagi memperhatikan dan menjunjung tinggi akhlak, moralitas, dan nilai-nilai luhur.
Keadaannya berbeda jika masalah ekonomi dikelola berdasarkan ajaran agama. Bagi kaum Muslimin, yang mendorong mereka untuk berbuat dalam kehidupan ekonomi bukanlah motif ekonomi, melainkan ketakwaan kepada Allah SWT. Begitu pula, kecintaannya untuk berbuat baik terhadap sesama.
Muslim akan tampil tidak hanya sebagai sosok homo economicus, tetapi juga homo religius. Ia diharapkan akan dapat mempergunakan alam kebendaan yang dimiliki dan dihadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya, sesuai dengan ketentuan dari Tuhan.
Akhlak dan moralitas seperti itulah, menurut Sjafruddin, yang tidak tampak pada orang-orang yang bekerja berdasar motif ekonomi saja. Akibatnya, mereka menjelma menjadi iblis dalam wujud tubuh manusia. Mereka menghisap darah orang lain dan masyarakat.
Dalam pandangan Sjafruddin, pemerintah jangan hanya menggunakan pendekatan ekonomi dan pasar dalam menata kehidupan ekonomi bangsa dan negara.
Sebab, yang namanya pasar dan ekonomi murni itu tidak punya hati nurani. Ia hanya akan berpihak kepada orang yang kuat, tanpa peduli kepada orang yang lemah.
Keadaan pasar yang seperti itu tentu akan sarat dengan pro-kontra. Sebab, tidak bisa diterima oleh orang yang miskin sebagai pihak yang dipinggirkan dan terpinggirkan.
Oleh karena itu, wajar kiranya jika mereka berjuang dalam mendapatkan hak-haknya. Akibatnya, terjadilah gesekan, tindak kekerasan, serta perbuatan-perbuatan tidak terpuji lainnya. Kesemuanya itu tidak mustahil akan memantik terjadinya kekacauan sosial dan politik yang akan sangat merugikan bangsa dan negara.
Untuk menghindari hal demikian, menurut Sjafruddin, agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan keseimbangan harus terlibat dan dilibatkan dalam mengatur kehidupan ekonomi dan pasar. Hal itu agar kehidupan ekonomi dan pasar bisa berjalan dengan baik dan lancar dalam bingkai akhlak dan moral yang luhur.
Kehidupan ekonomi dan pasar diharapkan akan dapat menjadi tempat yang aman, nyaman dan sejuk bagi semua pihak. Itulah yang kita harapkan.
*) Dr H Anwar Abbas MM MAg atau yang akrab disapa Buya Anwar Abbas merupakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dosen tetap Prodi Perbankan Syariah FEB UIN Syarif Hidayatullah ini juga adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.