Oleh : Saifullah, S.H.I., M.H, Advokat dan Praktisi Hukum, Islamic Family and Financial Lawyers, • Founder YS & Co Law Firm, Managing Partner pada Kantor Hukum Saifullah & Partners
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak boleh dipandang sebagai peristiwa biasa, bukan pula sekadar persoalan domestik antara suami, istri, dan juga anak, melainkan sebagai bentuk pelanggaran hukum dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah menegaskan bahwa setiap bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran merupakan tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi tegas. Karena itu, masyarakat tidak boleh menormalisasi KDRT seolah hanya urusan pribadi, sebab setiap tindak kekerasan akan membawa dampak sosial dan moral yang luas.
Dalam UU 1945 Pasal 1 ayat 3 Indonesia dinyatakan sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang menjunjung tinggi supremasi hukum, sehingga sudah sepatutnya setiap warga negara wajib mematuhi hukum, dan semua warga negara sama di depan hukum. Oleh karena itu, dalam hal penindakan terhadap kasus KDRT, siapapun pelakunya harus mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Tidak boleh ada keistimewaan terhadap pihak-pihak pelaku KDRT dari kalangan pengusaha, tokoh masyarakat, ataupun pejabat publik.
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, KDRT merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan di lingkup keluarga. Dalam konteks pejabat publik, tindakan ini menjadi lebih berat karena pelaku memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan bagi bawahannya secara struktural organisasi dan juga bagi seluruh masyarakat publik.
Seorang pemimpin yang melakukan KDRT sesungguhnya gagal menjaga amanah dan integritas jabatan. Dalam perspektif hukum administrasi negara, tindakan tercela seperti ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran etika berat yang menggerus kepercayaan publik, sehingga wajar jika masyarakat menuntut agar pelaku mundur dari jabatan yang diembannya.
Masih hangat kasus seorang pejabat BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berinisial M yang diduga melakukan KDRT terhadap istrinya di kantor BPJPH, Pondok Gede, Jakarta Timur, pada 17 Agustus 2025 lalu. Terkait kasus Pejabat BPJPH tersebut, penulis ingin melihatnya dari dua sisi: Etika dan Hukum.
Dari sisi etika, seorang pejabat BPJPH mestinya dapat memberikan tauladan dan contoh yang baik kepada orang-orang di sekitarnya. Bukan sebaliknya, malah mempertontonkan perlakuan kasar terhadap seorang perempuan yang seharusnya dilindunginya.
Karena dalam Islam, perempuan memiliki posisi yang mulia dalam sebuah keluarga, dan Nabi Muhammad saw memberikan panutan untuk bersikap baik kepada keluarga. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).