JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai salah satu proyek unggulan pemerintah ternyata menuai keluhan dari lapangan dan kritik tajam dari kalangan akademisi. Di sekolah-sekolah, guru merasa kewalahan karena harus menangani pembagian makanan, sementara di sisi lain pakar pangan menilai target MBG terlalu besar sehingga pengawasan menjadi lemah.
Seorang guru aparatur sipil negara (ASN) di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, mengungkapkan sejumlah persoalan yang ia hadapi sejak program MBG bergulir. Menurutnya, waktu belajar siswa kerap terpangkas karena distribusi makanan dilakukan pada jam pelajaran pagi.
“Jam belajar jadi berkurang, anak-anak sudah dapat tray MBG sejak pukul tujuh pagi padahal jadwal istirahat biasanya pukul sembilan,” ujarnya, Senin (29/9/2025).
Tak hanya soal waktu, guru juga harus mengurus tumpukan tray makanan—mulai dari mengangkut, membagi, hingga menjaga agar tidak rusak atau hilang. Jika ada kerusakan, pihak sekolah diminta mengganti.
“Kami jadi seperti petugas logistik. Tray ini harus utuh, tidak boleh rusak atau hilang,” imbuhnya.
Ia juga mengkritisi menu MBG yang dianggap hambar dan sering tidak dimakan anak-anak. Buah potong kerap sampai di meja siswa dalam kondisi berair atau berbau karena disiapkan terlalu lama sebelum dibagikan.
“Lebih baik buah utuh berkulit seperti jeruk atau pisang daripada potongan semangka dan melon yang berubah rasa,” sarannya.
Guru itu juga menyoroti porsi makanan yang tidak merata serta bentuk lauk yang dianggap menarik oleh penyedia tetapi tidak sesuai selera anak.
Di sisi lain, Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Sri Raharjo, menilai persoalan yang terjadi di lapangan bukan sekadar teknis distribusi, tetapi juga desain program yang terlalu ambisius. Ia menyebut sejak awal MBG sudah mematok target puluhan juta penerima manfaat dalam waktu singkat, sementara infrastruktur pengawasan belum siap.
“Too much too soon. Membuka ribuan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) butuh tenaga, sistem, dan biaya besar. Jika pengawasannya tetap lemah, risikonya adalah kasus keracunan massal,” ujarnya.
Sri menyebut maraknya kasus keracunan di berbagai daerah—mulai Baubau, Banggai, Garut, Yogyakarta hingga Bandung—merupakan sinyal serius bahwa sistem pengendalian mutu belum berjalan optimal. Masak ribuan porsi dalam waktu terbatas, menurutnya, berisiko menghasilkan makanan yang tidak matang sempurna atau terkontaminasi bakteri patogen.
“Badan Gizi Nasional sebagai lembaga baru belum punya sumber daya memadai, sementara beban tugasnya sangat besar,” kata Sri.
Ia juga menyoroti perlunya payung hukum yang jelas agar sekolah maupun orangtua dapat mengambil sikap. “Idealnya ada regulasi setara undang-undang seperti di Jepang. Selama belum siap, masyarakat seharusnya berhak menolak tanpa risiko pidana,” jelasnya.
Sri menambahkan evaluasi program MBG harus dilakukan secara berkala, termasuk pemantauan status gizi siswa pada awal dan akhir tahun pelaksanaan. “Tanpa pembenahan mendasar, kepercayaan publik akan turun dan dampak jangka panjangnya pada kesehatan anak bisa serius,” tandasnya.
Gabungan keluhan guru dan kritik akademisi itu memperlihatkan satu hal: MBG di lapangan menghadapi tantangan besar. Program ini diharapkan mampu memperbaiki gizi anak-anak Indonesia, tetapi juga menuntut perhatian lebih serius terhadap kualitas, pengawasan, serta kesiapan teknis agar cita-cita mulia tersebut benar-benar tercapai. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.