Kondisi Ekonomi Indonesia April 2025

3 days ago 11

(Beritadaerah-Kolom) Dalam beberapa waktu terakhir, muncul kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi Indonesia. Di tengah angka pertumbuhan yang secara statistik tercatat stabil sekitar 5%, terdapat banyak indikator struktural yang menunjukkan pelemahan. Sementara beberapa pihak mempertahankan narasi optimisme, gejala di lapangan justru memperlihatkan berbagai tanda tekanan ekonomi yang memerlukan perhatian serius dan tindakan terukur.

Ekonomi nasional kini menghadapi kombinasi tantangan domestik dan tekanan global yang tidak sederhana. Permasalahan fundamental seperti berkurangnya daya beli masyarakat, peningkatan beban fiskal, risiko pemburukan sovereign rating, hingga pelemahan kepercayaan pasar, menjadi tanda-tanda awal bahwa pondasi ekonomi memerlukan penguatan mendesak.

Shrinking middle class dan daya beli melemah

Salah satu sinyal penting adalah menyusutnya kelas menengah Indonesia. Data menunjukkan bahwa dalam kurun lima tahun terakhir, jumlah penduduk kelas menengah berkurang dari sekitar 57 juta menjadi 47 juta orang. Penurunan ini mengkhawatirkan, sebab kelas menengah berfungsi sebagai motor konsumsi domestik, pilar stabilitas sosial, dan basis pajak negara.

Tidak hanya itu, jumlah tabungan rata-rata penduduk kelas menengah juga mengalami kontraksi besar. Dari rata-rata simpanan per orang sebesar Rp3 juta, kini menurun menjadi hanya sekitar Rp1,3 juta. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketahanan finansial rumah tangga semakin rapuh, membuat konsumsi domestik rentan terhadap guncangan eksternal sekecil apa pun.

Fenomena ini diperkuat dengan data konsumsi aktual. Misalnya, pada momentum Lebaran — periode di mana biasanya konsumsi rumah tangga melonjak — jumlah pemudik tahun ini turun drastis sebesar 24%. Padahal tradisi mudik sangat mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Penurunan ini mencerminkan memburuknya daya beli riil masyarakat.

Defisit dan Debt Service Ratio

Kondisi fiskal negara juga menghadapi tekanan berat. Defisit APBN membesar hingga mencapai 616,7 triliun rupiah. Beban pembayaran utang menjadi tantangan serius dengan Debt Service Ratio (DSR) yang sudah mencapai 17% terhadap total anggaran. Artinya, hampir seperlima APBN digunakan hanya untuk membayar bunga dan cicilan utang, bukan untuk pembangunan produktif.

Dalam waktu dekat, Indonesia harus menghadapi jatuh tempo utang senilai lebih dari 700 triliun rupiah, berbarengan dengan kebutuhan pembiayaan baru sebesar 250 triliun rupiah. Kondisi ini meningkatkan ketergantungan terhadap pembiayaan utang domestik maupun asing, sehingga mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk mengelola ekonomi secara mandiri.

Apabila DSR terus meningkat, Indonesia berisiko masuk dalam kategori “debt trap,” di mana pengeluaran negara sebagian besar hanya diarahkan untuk membayar utang, bukan untuk pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, atau perlindungan sosial.

Ancaman terhadap Sovereign Rating

Risiko lain yang membayangi adalah potensi penurunan sovereign rating Indonesia. Saat ini, Indonesia masih memegang rating “BBB” atau investment grade. Namun jika lembaga pemeringkat seperti S&P Global Ratings, Moody’s, atau Fitch Ratings menurunkan rating tersebut satu tingkat saja, Indonesia akan kehilangan status investment grade.

Konsekuensinya sangat serius: biaya pinjaman internasional akan naik, investor asing akan menarik modal mereka, nilai tukar akan tertekan lebih dalam, dan risiko krisis fiskal meningkat tajam. Contoh nyata bisa dilihat pada pengalaman Turki dan Argentina, di mana penurunan rating menyebabkan depresiasi mata uang, lonjakan inflasi, dan kontraksi ekonomi parah.

Gejolak pasar modal dan melemahnya kepercayaan investor

Pasar modal Indonesia menjadi salah satu cermin langsung dari memburuknya persepsi risiko. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami koreksi tajam, diikuti dengan meningkatnya capital outflow. Data menunjukkan bahwa saat ini Bank Indonesia menjadi pembeli utama surat berharga negara (SBN), menggantikan posisi asing yang terus mengurangi eksposur mereka.

Dalam kondisi normal, pasar SBN didominasi investor asing, mencerminkan kepercayaan terhadap stabilitas fiskal. Kini, shifting pembelian ke Bank Indonesia mengindikasikan intervensi domestik untuk menstabilkan pasar, namun dengan risiko monetisasi utang (printing money) yang dapat berdampak pada inflasi jangka menengah.

Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang tidak sejalan dengan pelemahan dolar terhadap mata uang utama dunia. Saat dolar melemah terhadap Euro, Yen, dan Pound Sterling, terhadap rupiah justru menguat. Kurs rupiah melemah hingga menembus Rp16.800 per dolar AS, jauh di atas real effective exchange rate yang seharusnya di kisaran Rp15.500–Rp16.000.

Ketidakstabilan kurs ini menjadi indikator kuat bahwa investor menilai fundamental ekonomi Indonesia sedang melemah.

 Program Ultra-Populis

Di tengah keterbatasan fiskal tersebut, pemerintah meluncurkan berbagai program ultra-populis, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk 82 juta jiwa dengan anggaran mencapai 300 triliun rupiah. Padahal, berdasarkan data gizi nasional, kebutuhan sesungguhnya hanya sekitar 20 juta orang.

Ketidakrasionalan dalam alokasi anggaran ini menciptakan pemborosan fiskal besar-besaran. Anggaran sebesar itu akan memperbesar defisit, memaksa penerbitan utang baru, memperburuk tekanan fiskal, dan mempercepat penurunan sovereign rating.

Program MBG seharusnya difokuskan hanya kepada daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dengan pendekatan berbasis kupon atau subsidi terarah, bukan program massal nasional yang tidak mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi antar wilayah.

Tekanan hubungan dagang dan diplomasi ekonomi

Tekanan terhadap Indonesia tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari hubungan dagang internasional, khususnya dengan Amerika Serikat. AS meminta Indonesia menghapus berbagai praktik yang dianggap menghambat perdagangan bebas, seperti penggunaan QRIS yang mendominasi pembayaran domestik dan penjualan barang bajakan di pasar tradisional.

Dalam situasi ini, Indonesia harus berhati-hati agar tidak menyerahkan konsesi sepihak yang dapat mengorbankan kedaulatan ekonomi nasional. Negosiasi harus berlandaskan prinsip “take and give,” memperhitungkan secara rinci cost-benefit setiap keputusan, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan ekonomi nasional.

Kegagalan dalam menjaga posisi tawar bisa memperburuk defisit neraca transaksi berjalan, melemahkan sektor jasa, dan meningkatkan ketergantungan terhadap pasar tunggal tertentu.

Pentingnya kepemimpinan rasional dan terukur

Kebijakan populis dan impulsif tidak hanya memperlemah fundamental ekonomi, tetapi juga menggerus kepercayaan publik dan investor. Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan yang berbasis rasionalitas, kajian ilmiah, dan ketegasan dalam menyusun skala prioritas.

Pemimpin harus mampu menghindari jebakan politisasi kebijakan ekonomi jangka pendek demi popularitas. Sebaliknya, keberanian untuk mengambil keputusan sulit, membangun konsolidasi fiskal, dan memperbaiki iklim investasi menjadi kunci utama dalam menavigasi ketidakpastian global saat ini.

Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa ketidakpastian kebijakan dan pemborosan fiskal sering kali menjadi awal dari spiral krisis yang lebih dalam.

Langkah kedepan

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Tantangan domestik yang berat dan tekanan global yang meningkat menuntut kebijakan ekonomi yang lebih rasional, terukur, dan berpihak pada keberlanjutan jangka panjang.

Beberapa hal yang perlu dikerjakan Indonesia seperti melakukan rasionalisasi anggaran, khususnya terhadap program ultra-populis, memperkuat basis fiskal dengan meningkatkan kualitas penerimaan pajak. Menjaga kredibilitas pasar dengan mempertahankan sovereign rating. Membangun negosiasi internasional yang berimbang dan berbasis kepentingan nasional. Mengelola sektor perbankan dan pasar keuangan dengan prudent. Meningkatkan kualitas kepemimpinan ekonomi dan menghindari keputusan impulsif.

Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat memperkuat ketahanan ekonominya dan tetap berada dalam jalur pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |