Menimbang Masa Depan TKDN dalam Strategi Industrialisasi Nasional

5 hours ago 4

(Beritadaerah-Kolom) Kebijakan-kebijakan yang pernah diambil oleh Presiden Donald Trump, yang meskipun berasal dari Amerika Serikat, memiliki dampak luas hingga merembet ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Negara perlu bersikap dalam menghadapi ketidakpastian global ini. Namun, dalam konteks Indonesia, perhatian saat ini tertuju pada isu penting yang tidak bisa dianggap remeh adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Belakangan ini muncul wacana pemerintah untuk merelaksasi ketentuan TKDN dan menggantinya dengan skema insentif. Isu ini sangat krusial karena berkaitan erat dengan lapangan pekerjaan, keberlanjutan industri dalam negeri, serta kedaulatan ekonomi nasional. TKDN bukan hanya soal konten lokal pada produk, tetapi menyangkut sistem ekosistem industri yang melibatkan tenaga kerja, kapasitas produksi nasional, serta daya saing jangka panjang Indonesia di kancah global.

Jika kita menilik kembali momentum saat pandemi COVID-19, terlihat jelas bagaimana dunia mengalami keterkejutan karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap barang impor. Saat rantai pasok global terganggu akibat lockdown di negara-negara produsen bahan baku, Indonesia dan banyak negara lain kesulitan mendapatkan pasokan esensial, termasuk obat-obatan. Situasi ini menegaskan pentingnya kemandirian industri nasional dan ketahanan rantai pasok domestik.

Baca juga : Presiden Prabowo Instruksikan TKDN Dibuat Lebih Fleksibel dan Realistis

Dalam konteks itu, pembahasan mengenai TKDN menjadi sangat relevan. Melalui kebijakan TKDN, Indonesia mendorong pengembangan industri lokal agar tidak hanya menjadi pasar bagi produk asing, melainkan juga mampu memproduksi, mengembangkan teknologi, dan menciptakan lapangan kerja secara berkelanjutan. Jika kebijakan ini dilonggarkan tanpa pertimbangan matang, maka berbagai manfaat yang telah dicapai selama ini bisa lenyap.

Salah satu sektor yang dapat dijadikan contoh adalah industri perangkat teknologi informasi seperti handphone, komputer, dan tablet (HKT). Berkat kebijakan TKDN yang diterapkan sejak 2013, impor HKT yang sebelumnya terus melonjak berhasil ditekan secara signifikan. Dari sekitar 70 juta unit, kini hanya tersisa sekitar 3,1 juta unit per tahun. Di saat yang sama, kapasitas dan kemampuan produsen dalam negeri mengalami peningkatan pesat. Indonesia kini tidak hanya memiliki pabrik perakitan, tetapi juga telah mampu memproduksi berbagai komponen penting secara lokal—seperti charger, earphone, casing, hingga buku manual dan kabel USB.

Data menunjukkan bahwa saat ini terdapat 22 pabrik dan 39 merek perangkat elektronik yang beroperasi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah merek global ternama seperti Samsung, Vivo, Oppo, Xiaomi, Realme, Infinix, Asus, Motorola, dan Honor. Keberadaan mereka telah mendorong munculnya ekosistem industri lokal yang menciptakan ribuan lapangan kerja, meningkatkan kompetensi tenaga kerja, dan menumbuhkan industri penunjang seperti percetakan, kemasan, dan logistik.

Namun, sinyal kebijakan yang tidak konsisten membuat pelaku industri mulai ragu. Beberapa pemilik merek menyatakan bahwa apabila TKDN dihapus atau digantikan oleh skema insentif yang tidak kompetitif, mereka mempertimbangkan untuk kembali mengekspor langsung dari negara asal, mengabaikan investasi dan kemitraan lokal yang telah dibangun selama ini. Ini tentu menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlanjutan industri nasional.

Dari sisi fiskal, kontribusi sektor manufaktur elektronik yang menerapkan TKDN juga signifikan. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak, pada tahun 2023 sektor ini menyumbang pajak penghasilan sebesar Rp4 triliun. Produksi domestik meningkat sekitar 14%, yang turut mendongkrak pendapatan negara dan memperkuat neraca perdagangan. Jika TKDN dihapus, maka konsekuensinya bisa beruntun: investasi menurun, pinjaman industri macet, perbankan terdampak, nilai tukar rupiah tertekan, hingga menurunnya rating kredit nasional.

Dari sisi ekspor, kontribusi sektor elektronik domestik hingga kuartal ketiga 2024 mencapai USD 10,7 miliar. Ini bukan angka kecil. Apabila industri ini terguncang karena perubahan kebijakan yang mendadak, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga oleh ribuan pekerja dan rumah tangga yang menggantungkan hidup pada rantai nilai industri elektronik.

Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa relaksasi TKDN berpotensi menekan neraca perdagangan. Tanpa perlindungan yang cukup, pasar domestik akan dibanjiri produk impor. Kita berisiko menjadi “tempat sampah” dari produk-produk luar negeri yang kualitasnya belum tentu unggul, sementara produk lokal yang sudah mampu bersaing justru tergeser. Ini bisa menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), menurunnya penerimaan pajak, dan defisit fiskal yang lebih dalam.

Negara-negara lain justru memperkuat kebijakan industrinya. India, misalnya, menerapkan program Production-Linked Incentive (PLI) yang memberikan insentif hingga 6% dari total investasi, khususnya untuk industri smartphone dan laptop. Skema ini mengaitkan insentif dengan target produksi yang jelas. Jika target tidak tercapai, insentif hangus. Hasilnya, India menjadi basis produksi global dan berhasil menarik investasi besar.

Cina pun menerapkan kebijakan yang sangat agresif melalui strategi Made in China 2025 dan Indigenous Innovation. Mereka mewajibkan proyek-proyek pemerintah dan BUMN menggunakan produk lokal, bahkan ketika kualitas produk tersebut belum sebaik produk asing. Mereka memaksa perusahaan asing untuk melakukan transfer teknologi jika ingin mengakses pasar domestik. Hasilnya, perusahaan seperti BYD dan Wuling kini mampu bersaing dengan Tesla, dan industri teknologi tinggi berkembang pesat di berbagai sektor.

Korea Selatan adalah contoh lain dari keberhasilan pembangunan industri nasional berbasis TKDN. Sejak tahun 1970-an, di bawah kepemimpinan Park Chung-hee, mereka memaksakan penggunaan komponen lokal pada industri berat seperti otomotif, baja, elektronik, dan petrokimia. Meskipun menghadapi tekanan global, Korea Selatan konsisten memberikan insentif besar, perlindungan pasar, dan dukungan riset dan pengembangan (R&D) untuk mendorong pertumbuhan industri. Hasilnya, kini 70% komponen elektronik Samsung dibuat di dalam negeri.

Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara tersebut. Kita bukanlah negara kecil seperti Singapura yang bisa bergantung penuh pada impor. Indonesia adalah negara besar dengan pasar domestik yang luas dan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Kita memiliki peluang untuk mengembangkan industri dalam negeri yang berdaya saing global, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Relaksasi TKDN harus dipertimbangkan secara matang. Jika memang ada sektor-sektor tertentu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, pendekatan bertahap dapat diterapkan dengan tetap memberikan dukungan terhadap pengembangan kapasitas lokal. Jangan sampai kebijakan jangka pendek mengorbankan pencapaian jangka panjang. Konsistensi arah kebijakan adalah kunci untuk menjaga kepercayaan investor dan mendorong pertumbuhan industri yang berkelanjutan.

Mari kita kembali ke prinsip dasar kebijakan ekonomi yaitu menciptakan nilai tambah di dalam negeri, membuka lapangan kerja, dan memperkuat fondasi industri nasional. TKDN bukan sekadar angka dalam regulasi, tetapi merupakan representasi dari upaya kolektif bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompleks.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |