(Beritadaerah-Kolom) Dalam era globalisasi dan pertumbuhan industri pariwisata yang pesat, wisatawan tidak hanya mencari keindahan alam atau sejarah suatu tempat, tetapi juga pengalaman budaya yang otentik—salah satunya melalui makanan. Bisnis kuliner dan sektor pariwisata memiliki keterkaitan erat yang saling memperkuat. Kuliner lokal menjadi daya tarik tersendiri dalam paket wisata, sementara geliat wisata mendorong tumbuhnya industri makanan dan minuman yang semakin inovatif dan adaptif.
Kuliner sebagai Daya Tarik Wisata
Setiap daerah memiliki cita rasa unik yang mencerminkan sejarah, budaya, dan identitas masyarakatnya. Makanan seperti rendang dari Padang, gudeg dari Yogyakarta, hingga papeda dari Papua bukan sekadar santapan, melainkan juga narasi budaya yang bisa dinikmati secara langsung. Wisata kuliner kini menjadi segmen tersendiri yang diminati wisatawan domestik maupun mancanegara.
Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), lebih dari 30% pengeluaran wisatawan dihabiskan untuk konsumsi makanan dan minuman. Hal ini menunjukkan peran penting kuliner dalam mendukung pengalaman wisata yang menyeluruh.
Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Bisnis Kuliner
Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke suatu daerah otomatis membuka peluang bagi pelaku bisnis kuliner. Kafe, restoran, warung makan, hingga pedagang kaki lima mendapat pasar yang lebih luas. Kehadiran pariwisata juga mendorong pelaku usaha kuliner untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan. Dari segi penyajian, banyak restoran kini mengemas makanannya secara lebih estetis dan ramah media sosial. Dari segi pelayanan, pelaku usaha mulai memahami pentingnya sertifikasi kebersihan, pelayanan multibahasa, hingga metode pembayaran digital.
Berikut ini merupakan pengaruh pariwisata terhadap pertumbuhan bisnis kuliner, termasuk dampaknya dan contoh-contohnya:
- Meningkatkan Permintaan dan Omzet Pelaku Usaha Kuliner
Pariwisata mendatangkan arus wisatawan yang otomatis memperbesar pasar potensial bagi pelaku bisnis kuliner. Semakin tinggi kunjungan wisatawan, semakin besar pula konsumsi mereka terhadap makanan dan minuman lokal.
Dampak:
- Peningkatan omzet usaha kuliner, baik restoran besar, kafe, warung makan, hingga pedagang kaki lima.
- Dorongan untuk membuka cabang baru di area wisata.
- Terbukanya peluang investasi di sektor F&B (Food & Beverage).
Contoh:
- Di Bali, warung nasi campur seperti Warung Mak Beng dan Bebek Tepi Sawah menjadi destinasi kuliner yang ramai dikunjungi wisatawan.
- Di Yogyakarta, gudeg legendaris seperti Gudeg Yu Djum mendapat limpahan pengunjung dari turis lokal dan asing.
- Mendorong Inovasi dan Adaptasi Produk Kuliner
Agar menarik minat wisatawan, pelaku usaha kuliner terdorong untuk berinovasi, baik dari segi menu, penyajian, konsep tempat, hingga pelayanan.
Dampak:
- Munculnya fusion food (perpaduan kuliner lokal dan internasional).
- Desain restoran yang lebih Instagramable dan unik.
- Penambahan menu yang ramah wisatawan asing (misalnya non-pedas, halal, atau vegetarian).
- Digitalisasi menu dan layanan (QR code menu, e-wallet, aplikasi pemesanan).
Contoh:
- Kaum Jakarta dan Locavore Ubud menyajikan menu tradisional dengan sentuhan modern, dan sangat diminati wisatawan asing.
- Banyak kafe di Bandung mengusung tema-tema khusus seperti retro, alam terbuka, atau nuansa Korea untuk menarik wisatawan muda.
- Membuka Lapangan Kerja dan Meningkatkan Pendapatan Daerah
Pertumbuhan wisatawan membuat bisnis kuliner tumbuh, yang otomatis membutuhkan tenaga kerja baru dan berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak restoran.
Dampak:
- Meningkatkan kesempatan kerja di sektor kuliner dan pendukungnya (supplier bahan baku, logistik, pemasaran).
- Usaha mikro dan kecil mendapat ruang tumbuh lebih besar.
- PAD meningkat melalui pajak kuliner.
Contoh:
- Di Danau Toba, pengembangan desa wisata membuat ibu-ibu setempat membuka warung makanan khas Batak seperti arsik dan dali ni horbo.
- Di Labuan Bajo, wisatawan yang naik kapal ke Pulau Komodo menikmati makanan lokal di rumah makan atau kapal wisata, mempekerjakan banyak koki dan kru lokal.
- Mengangkat Kuliner Lokal Menjadi Ikon Daerah
Pariwisata membuat makanan tradisional dikenal lebih luas, bahkan menjadi ciri khas daerah tersebut. Kadang, kuliner lokal bisa menjadi alasan utama wisatawan datang.
Dampak:
- Branding kota/destinasi lewat makanan.
- Terjadi komodifikasi kuliner tradisional secara positif (dibuat lebih menarik tanpa meninggalkan otentisitasnya).
- Potensi ekspor produk kuliner (makanan beku, bumbu siap pakai, dll).
Contoh:
- Pempek menjadi ikon Palembang dan dijadikan oleh-oleh utama.
- Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung jadi signature food di Lombok dan dipromosikan dalam brosur wisata.
Pariwisata memberi pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan bisnis kuliner, baik secara langsung melalui peningkatan permintaan, maupun secara tidak langsung lewat dorongan inovasi, promosi budaya, dan pertumbuhan ekonomi lokal. Ketika industri kuliner lokal dapat beradaptasi dengan kebutuhan wisatawan tanpa kehilangan jati dirinya, maka hubungan antara pariwisata dan kuliner bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Bisnis Kuliner Sebagai Simbol Identitas dan Daya Saing Daerah
Bisnis kuliner juga dapat menjadi simbol daya saing daerah dalam kancah nasional maupun internasional. Kota-kota seperti Bandung, Solo, dan Makassar kini dikenal sebagai kota wisata kuliner yang tidak kalah menarik dibandingkan destinasi wisata lainnya. Kuliner bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan juga representasi budaya, karakter, dan kekhasan suatu daerah. Ketika sebuah hidangan lokal dikenal luas dan menjadi ciri khas destinasi, kuliner tersebut berubah menjadi simbol identitas daerah dan sekaligus alat bersaing dalam menarik wisatawan dan investasi.
1. Kuliner Merepresentasikan Budaya dan Sejarah Lokal
Setiap makanan khas mengandung cerita tentang adat, kebiasaan, bahan baku lokal, bahkan filosofi hidup masyarakat setempat. Inilah yang membuat kuliner punya kekuatan simbolik.
Contoh:
- Rendang (Sumatera Barat) mencerminkan prinsip musyawarah dan keseimbangan dalam adat Minangkabau.
- Papeda (Papua) dibuat dari sagu, bahan pokok yang mencerminkan cara hidup masyarakat timur Indonesia yang bergantung pada alam.
- Gudeg (Yogyakarta) dikenal sebagai makanan manis yang mencerminkan kepribadian masyarakat Jawa yang lembut dan sabar.
2. Menjadi Brand dan Daya Tarik Wisata
Ketika makanan khas daerah dipromosikan secara konsisten dan kreatif, ia berubah menjadi brand daerah yang kuat dan mudah diingat wisatawan. Bahkan, banyak kota di Indonesia kini mulai dikenal bukan hanya karena tempat wisatanya, tapi karena kulinernya.
Contoh:
- Solo dan Surakarta dikenal dengan serabi Notosuman dan tengkleng.
- Makassar terkenal dengan coto Makassar dan konro, bahkan sering menjadi alasan utama orang datang.
- Bandung punya daya saing kuliner modern dan lokal—dari batagor hingga cafe kreatif—yang membuatnya jadi kota kuliner kreatif.
3. Mendorong Penguatan Produk Lokal dan UMKM
Kuliner yang menjadi simbol daerah juga mendorong berkembangnya UMKM dan penggunaan produk lokal. Ini menciptakan rantai ekonomi berbasis identitas yang berkelanjutan.
Dampak Positif:
- Petani dan nelayan lokal mendapat manfaat dari meningkatnya permintaan bahan baku.
- UMKM kuliner lokal naik kelas lewat pelatihan dan digitalisasi.
- Produk kuliner olahan khas daerah (oleh-oleh) menjadi sumber pendapatan baru.
Contoh:
- Keripik sanjai (Padang) dan kripik tempe (Malang) menjadi produk yang melekat dengan nama kota.
- Bolu kukus Makassar dan pia Legong Bali jadi oleh-oleh khas yang memperkuat merek kota tersebut.
4. Daya Saing di Tingkat Nasional dan Global
Makanan khas yang berhasil dikenal di tingkat nasional bahkan internasional, akan menjadikan daerah tersebut lebih kompetitif dalam menarik wisatawan, investor, dan pelaku bisnis.
Contoh:
- Rendang dinobatkan sebagai salah satu makanan terenak dunia versi CNN, menjadikan Sumatera Barat semakin dikenal dunia.
- Sate lilit Bali dan sambal matah kini masuk dalam menu restoran Indonesia di luar negeri.
- Program pemerintah seperti “Indonesia Spice Up The World” mendorong ekspor bumbu dan makanan khas untuk memperkuat posisi kuliner Indonesia di pasar global.
5. Identitas Kolektif yang Diperjuangkan dan Dibanggakan
Bisnis kuliner juga menjadi sumber kebanggaan masyarakat lokal. Identitas kuliner bisa menjadi simbol resistensi budaya terhadap globalisasi, sekaligus ajakan untuk menjaga warisan leluhur.
Contoh:
- Komunitas pecinta makanan tradisional di berbagai kota kini aktif mengkampanyekan kuliner lokal agar tidak punah.
- Pemerintah daerah banyak yang menetapkan Warisan Budaya Takbenda (WBTB) untuk makanan khas, seperti Sambal Roa (Sulawesi Utara), Ayam Betutu (Bali), dan lainnya.
Bisnis kuliner memiliki kekuatan lebih dari sekadar aktivitas ekonomi—ia membentuk, memelihara, dan mempromosikan identitas daerah. Ketika dikemas dengan baik, kuliner menjadi alat branding yang efektif, memperkuat daya saing destinasi wisata, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan memperkuat rasa bangga masyarakat terhadap budaya mereka sendiri. Oleh karena itu, pengembangan kuliner lokal tidak hanya perlu dukungan pelaku usaha, tapi juga kebijakan strategis dari pemerintah dan keterlibatan masyarakat.
Tantangan dan Peluang
Meski menjanjikan, pengembangan kuliner dalam pariwisata tidak lepas dari tantangan. Beberapa di antaranya adalah standar kebersihan, konsistensi rasa, keterbatasan bahan baku lokal, hingga minimnya pelatihan SDM. Namun, di sisi lain, peluang yang terbuka sangat besar, terutama dengan berkembangnya tren pariwisata berkelanjutan dan wisata berbasis pengalaman (experiential tourism).
Digitalisasi juga memainkan peran penting. Aplikasi ulasan kuliner, pemesanan online, serta promosi melalui media sosial menjadi alat penting dalam menjangkau wisatawan milenial dan Gen Z yang sangat mengandalkan informasi digital dalam menentukan destinasi wisata dan tempat makan.
Bisnis kuliner dan pariwisata bukan dua sektor yang berdiri sendiri, melainkan saling mendukung dan memperkuat. Ketika dikelola dengan baik, keduanya mampu menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan, memperluas lapangan kerja, melestarikan budaya lokal, dan meningkatkan pendapatan daerah. Oleh karena itu, kolaborasi antara pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat lokal sangat dibutuhkan untuk menjadikan kuliner sebagai pintu masuk menuju keberhasilan pariwisata Indonesia.