JOGLOSEMARNEWS.COM – Di tanah Banten, Debus dikenal sebagai seni bela diri, ritual spiritual, sekaligus simbol perlawanan yang sudah hidup sejak abad ke-16. Aksi para jawara Debus yang menusukkan benda tajam ke tubuh, berjalan di atas bara api, atau membakar kulit mereka sendiri tanpa luka berarti, terus memikat penonton dari generasi ke generasi. Fenomena inilah yang menjadikan Debus tetap bertahan sebagai salah satu ikon budaya Indonesia yang unik dan sarat nilai.
Sejarah panjang Debus tak bisa dilepaskan dari Kesultanan Banten. Menurut Hudaeri (2010) dalam bukunya Debus dari Banten, tradisi ini sudah dikenal sejak masa Sultan Maulana Hasanuddin dan berkembang pesat pada era Sultan Ageng Tirtayasa.
Kala itu Debus bukan hanya hiburan rakyat, tetapi juga alat penyebaran agama Islam sekaligus simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pertunjukan Debus, yang memadukan unsur seni bela diri dan spiritualitas, digunakan untuk membangkitkan semangat keberanian masyarakat Banten yang tengah menghadapi tekanan kolonial. Dengan demikian, Debus berperan sebagai energi kolektif masyarakat, bukan hanya pertunjukan semata.
Debus sangat kental dengan aspek spiritual di dalamnya. Djohan (2001) dalam Debus: Kesenian Tradisional Banten menyebutkan bahwa sebelum atraksi dimulai, para pemain biasanya melakukan wirid, dzikir, dan doa-doa khusus.
Prosesi itu terlebih untuk menyiapkan mental dan batin bagi pemain. Konsentrasi spiritual ini diyakini sebagai benteng diri sekaligus sumber kekuatan batin agar tubuh kebal terhadap benda tajam atau api.
Suryadi (1999) dalam Debus Banten: Seni Bela Diri dan Ritual Mistis juga menegaskan bahwa unsur tarekat, latihan mental, dan kedisiplinan spiritual merupakan faktor penting keberhasilan setiap pertunjukan. Tanpa latihan mendalam dan keyakinan yang kuat, atraksi Debus akan menjadi aksi yang sangat berbahaya bagi pelaku.
Atraksi Debus sendiri mencakup berbagai teknik yang memukau. Mulai dari menusukkan paku atau golok ke anggota tubuh, mengiris lidah dengan benda tajam, memakan pecahan kaca, hingga berjalan di atas bara api. Pada beberapa kesempatan, para jawara bahkan mempertontonkan ketahanan fisik terhadap cambukan rotan atau tusukan jarum besi. Semua gerakan itu dibangun dalam koreografi yang memperhatikan estetika: gerakan tubuh yang tegas, irama musik pengiring yang menghentak, serta suasana mistis yang membungkus pertunjukan. Hal ini membuat Debus menjadi seni pertunjukan dengan nilai filosofis tentang keberanian, keteguhan, dan iman.
Seiring perkembengan zaman, di era modern ini, Debus menghadapi tantangan serius. Perubahan gaya hidup, arus urbanisasi, dan dominasi budaya populer membuat generasi muda semakin jauh dari tradisi ini.
Berbagai upaya pelestarian memang terus dilakukan. Festival budaya daerah, kolaborasi Debus dengan seni pertunjukan kontemporer, hingga promosi wisata budaya menjadi cara-cara baru mengenalkan Debus ke khalayak yang lebih luas. Pemerintah daerah Banten juga memasukkan Debus dalam agenda pariwisata budaya untuk menarik minat wisatawan sekaligus edukasi masyarakat.
Melalui pelestarian yang konsisten, Debus tetap hidup sebagai simbol keberanian dan identitas spiritual masyarakat Banten. Tradisi ini bukan hanya menyajikan tontonan ekstrem, melainkan juga mewariskan filosofi kehidupan yang mengajarkan keberanian, keimanan, serta kekuatan batin menghadapi tantangan. Menjaga Debus berarti menjaga kekayaan jiwa masyarakat Banten, warisan luhur yang mengikat masa lalu, kini, dan masa depan. [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.