JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan wacana pemutihan bagi produsen rokok ilegal. Kebijakan tersebut disebut sebagai langkah transisi agar produsen “gelap” bisa masuk ke jalur legal, sekaligus menjaga penerimaan negara dan lapangan kerja.
Dalam kunjungan kerja ke kawasan industri hasil tembakau (KIHT) Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025), Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah ingin memberi kesempatan kedua kepada pelaku usaha rokok ilegal untuk melegalkan produksinya. “Mungkin ada pemutihan, ke belakang dosanya diampuni. Tapi setelah itu, ke depan kami akan bertindak keras,” tegasnya.
Menurutnya, pemutihan hanyalah pintu masuk. Setelah itu, aturan akan ditegakkan dengan ketat agar tidak ada lagi celah bagi produsen yang coba-coba menghindari kewajiban cukai. Purbaya menyebut, langkah ini tidak hanya menyelamatkan industri kecil, tetapi juga menciptakan iklim usaha yang lebih adil antara perusahaan besar dan kecil.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tengah menyusun pola tarif baru yang lebih sesuai bagi produsen skala kecil. Tujuannya, agar mereka tetap bisa bertahan tanpa merusak persaingan pasar. “Yang penting lapangan kerja terjaga, tapi mereka juga harus bayar, jangan sampai menghindar,” ujar Purbaya.
Ia menambahkan, pemerintah daerah seperti Kudus telah menyiapkan kawasan khusus untuk mengintegrasikan produsen kecil. Bupati Kudus bahkan menyiapkan rencana pembangunan kawasan serupa di lahan seluas lima hektar. Dengan adanya kawasan ini, pemerintah bisa mengawasi produksi sekaligus memastikan penerimaan cukai berjalan lebih transparan.
Sebelumnya, Purbaya juga telah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026. Alih-alih, pemerintah memilih fokus menekan peredaran rokok ilegal. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menunjukkan, sepanjang Januari hingga September 2025, tercatat 1.519 surat bukti penindakan di Jawa Timur dengan barang bukti mencapai 235,4 juta batang rokok ilegal.
Meski begitu, kebijakan pemerintah yang dianggap memberi angin segar bagi industri rokok menuai kritik. Peneliti CISDI, Beladenta Amalia, menilai keputusan untuk tidak menaikkan tarif cukai justru berpihak pada industri, bukan pada upaya pengendalian konsumsi. “Cukai rokok mestinya diposisikan sebagai instrumen pengendalian karena produknya berbahaya. Kalau hanya fokus pada penerimaan negara dan industri, dampaknya ke konsumsi akan semakin besar,” katanya.
Beladenta mendorong agar pemerintah tetap menyiapkan kompensasi kebijakan, seperti menaikkan harga jual eceran, agar konsumsi rokok nasional tidak semakin meningkat. Dengan demikian, kebijakan pemutihan tidak hanya berpihak pada industri, tetapi juga memperhatikan aspek kesehatan publik. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.